-->

Kamis, 22 Desember 2011

Batin

Cerpen Hammidun Nafi’ Syifauddin
Dari kamar mandi ada yang mendesah. Itu suara keran yang resah karena airnya tak mau diam. Satu demi satu menetes. Keran itu mengerahkan seluruh tenaga untuk sekadar bertahan.
Tetesan itu makin cepat melaju. Satu, dua, tiga, dan seterusnya. Aku hanyut dalam suara itu. Dalam setiap suara tetesan air tercipta gelombang besar menerjang kepalaku, membentuk kilatan bergambar wajah seseorang, menembus, kemudian menjauh. Satu lagi menetes, satu gelombang besar datang.
Wajah dalam kilatan itu bukan wajah asing. Dia anakku yang bertahun lalu pergi dari rumah. Kemudian dia hadir setiap malam melalui suara tetesan keran.
Tetesan air itu makin menjadi-jadi. Suaranya menggelegar seperti dua logam besar yang bertabrakan. Aku gemetar dan dibuat berkeringat olehnya. Aku ingin menjerit.
Sampai kemudian seekor kupu-kupu hinggap di kakiku. Sayapnya terus mengepak. Dia akan membawaku terbang. Kakiku terus bergerak karena kepak sayapnya. Kakiku bergerak makin kuat. Kupu-kupu itu berubah menjadi tangan, kemudian bersuara.
“Bu, kamu mimpi buruk?”
“Bu, bangun.”
“Bu..”
Aku membuka mata pelan-pelan.
“Ya?”
“Ibu mimpi apa tadi?”
“Lho, bapak?”
“Ya, kamu tadi teriak-teriak.”
“Teriak?”
“Ya, kamu memanggil-manggil Eman.”
“Eman? Apa dia sudah pulang?”
“Tidak, dia belum pulang. Tadi kamu bermimpi.”
Begitu setiap malam aku bermimpi. Dan bapakmu yang tangannya selalu menjadi kupu-kupu itu membangunkanku. “Tubuhmu panas,” katanya, sambil memberiku segelas air putih.
Bukan tubuhku yang sakit. Sesuatu yang hidup di dalam ragaku ini lah yang tengah dalam alam pesakitan. Barangkali kaulah Eman penyebab semua ini.
“Pak?”
“Ya.”
“Aku merasa Eman sedang tidak baik.”
“Ah, barangkali cuma mimpi.”
“Bukan pak. Perasaan ini datang ketika aku tidak tidur.”
“Mungkin itu cuma perasaanmu.”
“Bukan pak, bukan.”
Bapakmu beranjak menuju tempat air berada. Setelah tangan dan mukanya basah, dia segera bersila dan memohon kepada yang maha mengabulkan. Kalimat keselamatan dia panjatkan kepada yang maha memberi keselamatan. Meski di depanku dia bersikap biasa. Jauh dalam perasaannya, dia tetaplah bapakmu yang khawatir.
 Aku mengambil hand phone. Aku menelponmu. Tidak kau angkat. Kemudian aku menulis pesan yang sama dengan kemarin, kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi.
***
Aku terbangun. Ripin yang membangunkanku. Katanya aku bermimpi. Menyebut nama ibuku. Ya, aku memang bermimpi. Mimpi amat kacau. tubuhku mengigil.
“Tubuhmu makin panas saja,” kata Ripin sambil meletakkan punggung tangannya di keningku.
“Biarlah. Besok juga sembuh.”
“Bagaimana kalau aku hubungi orangtuamu?”
“Jangan!”
“Lho, lenapa?”
“Jangan. Nanti ibu bisa lebih sakit dariku.”
Ripin menurut. Dia kembali ke biliknya.
Mulanya aku tak begitu yakin. Setetespun tak pernah kucecap air susu ibuku. Bagi orang-orang, peristiwa itulah yang kelak meniadakan ikatan batin antara ibu dan anak.
Kata kelak yang terucap waktu itu adalah malam ini. Dan yang dikatakan orang-orang itu salah. Salah besar. Bahkan ketika aku hanya tersandung kerikil pun ibu bisa merasakan.
Lebih dari yang mereka kira. Di tubuhku bersemayam banyak makhluk. Mereka sama dengan yang di tubuh ibuku. Setiap malam mereka berpawai. Terkadang menggemakan sebuah kalimat. Tak jarang, aku terjaga dari lelap karena ulah mereka.
Mereka bukan makhluk yang tampak. Mereka tak dapat disentuh. Mereka hanya dapat dirasakan. Kehadiran mereka selalu membawa kabar. Mereka datang dalam bentuk gelombang yang memancar kuat dari ulu hati. Karenanya aku sering mendesah panjang untuk menyambut mereka.
Sebelum menjadi gelombang, makhluk itu hanyalah suara-suara kecil dalam tenggorokan ibuku. Suara kecil yang berisi namaku itu makin terkumpul hingga terbawa keluar oleh napas. Napas yang berlarut-larut itu kemudian membentuk gelombang panjang menembus segala ruang menuju tempat tidurku. Mereka lebih hidup dari yang nampak hidup. Menjalar ke telingaku makhluk itu bernyanyi tentang kerinduan.
Aku hanya bisa menatap gemintang untuk kembali lelap jika terbangun oleh mereka. Namun yang kali ini agak susah. Aku tak benar-benar lelap. Bola mataku terus bergerak meski kelopaknya telah tertutup.
Aku kembali terjaga dan kembali menatap gemintang. Kerlip benda kecil di langit itu menggiringku menerawang jauh pada seorang perempuan yang melahirkan ku.
***
Bersama daun yang gugur, aku pamit ke luar kota. “Mencari apa?” tanya ibu. “Mencari diriku,” jawabku.
Nanar matanya cukup mewakili ketidakrelaannya yang tak sempat terucap. Tapi yang aku butuhkan bukan restu. Yang terpenting mereka tahu aku pergi. Aku tidak minggat.
Namun, aku yang kini tergeletak lemah adalah lelaki yang tak berhasil menemukan diriku. Harus delapan tahun waktu yang kuhabiskan untuk mengakui bahwa aku tidak pergi untuk mencari diriku. Aku pergi karena muak dengan pertengkaran orangtuaku saban pagi. Pertengkaran itu telah menjelma neraka kecil.
Namun aku sedikit lega, karena setidaknya masih ada tujuan mulia terselip dalam kepergianku. Aku ingin menjadi orang kaya. Benar, orang kaya. Tak ada tujuan hidup yang lebih mulia dari itu. Sebab aku mengerti, yang menciptakan neraka kecil di rumahku adalah kemiskinan. Perkara tidak ada beras mampu melahirkan pertengkaran. Bekas yang ditinggalkan adalah beban perasaan dalam hatiku. Aku menjadi orang yang marah dalam diam. Orang yang galak dalam santun. Orang yang pergi dari rumah.
Terkadang aku ingin berterimakasih kepada diriku sendri. Sebab kini aku sudah memiliki syarat sebagai orang kaya dan memiliki cita-cita pulang. Meski terkadang aku menyesal ketika mengingat terlalu banyak waktu yang kuhabiskan di rantau ini. Sehingga aku tak dapat menikmati keriput yang satu demi satu menghinggapi wajah orangtuaku. Entah setua apa mereka sekarang.
***
Aku kembali terjaga. Ripin mengintip dari biliknya. Hand phone berbunyi keras.
“Eman, dari orangtuamu,” katanya.
“Tengah malam begini?”
“Bagaimana?” tanya Ripin. Jempolnya mendekati tombol hijau.
“Jangan, jangan diangkat!”
“Lho kenapa?”
“Sudah, jangan diangkat.”
Ripin mengembalikan hand phone itu ke meja. Lama-lama diam. Kemudian berbunyi lagi. “Oh, itu hanya sms,” kata Ripin.
“Orangtuamu lagi, bertanya kabarmu, bagaimana? aku jawab apa?”
“Jangan. Jangan dijawab.”
“Lho kenapa? Aku tulis sehat-sehat saja bagaimana?”
“Jangan, mereka pasti tahu aku bohong.”
“Ah, aku tidak mengerti kamu Man. Dijawab sajalah,” Ripin merayuku.
“Sudah mending kamu tidur saja. Terimakasih. Aku taka apa.”
Ripin tak kunjung ke biliknya. Lama ia berdiri. Baru kemudian pergi. Aku akan membalas pesan itu besok pagi. Aku akan tulis, aku terlalu lelap semalam sehingga tak mendengarkan suara hand phone. Ripin akan kuberi tahu pesanku itu. Kemudian aku pulang.

Agustus-Oktober 2011
Untuk Ibu dan anak yang saling merindukan
Hamidun Nafi’ Syifauddin, warga soeket teki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar