-->

Jumat, 24 September 2010

Orator atau Calon Koruptor?

oleh Hammidun Nafi' Syifauddin

SIAPA para pejabat yang korupsi di negeri kita saat ini? Jawabnya bisa singkat, bisa pula panjang. Singkat, ketika pikiran kita terpaku pada masa ini. Panjang, ketika jawaban itu dikaitkan dengan kenyataan pada masa lalu dan masa datang.
Lewat tulisan ini, saya hanya akan mengulas jawaban yang panjang. Jawaban paling sederhana, para koruptor yang sekarang duduk di kursi kekuasaan adalah para mahasiswa pada masa lalu. Logika sederhananya, mereka yang sekarang berkuasa adalah kita pada masa datang.

Dengan berat hati harus kita akui, mereka yang korupsi saat ini adalah diri kita sendiri. Atau, jika terlalu berat mengakui hal itu, mari sejenak mundur ke masa lalu, ke saat saat para koruptor itu menyandang status mahasiswa. Kemudian, mari bersama-sama kita katakan mereka adalah mahasiswa dan kita adalah mahasiswa. Jadi, mereka adalah kita. Contoh riil, Direktur Jenderal pajak yang akhir-akhir ini diketahui bermain gelap dengan pajak tak lain dan tak bukan adalah mantan mahasiswa.

Saya tidak menjustifikasi bahwa mahasiswa saat ini adalah koruptor. Saya ini hanya ingin mengingatkan, dalam diri mahasiswa mengalir “darah tikus”.
Dengan menyadari hal itu, mahasiswa bisa mengantisipasi terlebih dahulu agar darah itu tak mengalir lebih deras.

Saya yakin, mahasiswa di seluruh Indonesia saat ini adalah mahasiswa yang peduli terhadap negara, peduli terhadap nasib rakyat. Itu terbukti dengan aksi unjuk rasa yang kerap mereka lakukan. Nurani membuat mereka menuntut pemerintah untuk memperhatikan nasib rakyat. Memberantas korupsi!

Namun untuk peduli terhadap nasib rakyat sepertinya harus ada cara baru. Tidak harus turun ke jalan, baris di depan gedung pemerintahan, meneriakkan nasib rakyat, dan menuntut pemberantasan korupsi. Alasannya singkat, bukankah itu juga yang dulu dilakukan para mahasiswa, yang saat ini ada dalam struktur pemerintahan?

Jika tidak percaya, mari sejenak menengok ke belakang. Setahun, dua tahun, lima tahun, bahkan dua puluh tahun lalu, berapa banyak mahasiswa dengan semangat kerakyatan turun memenuhi jalan, berorasi di depan gedung-gedung pemerintahan? Sama dengan yang dilakukan mahasiswa saat ini.
Kultur Justru itu semua akan menjadi berbahaya jika unjuk rasa atau demonstrasi suatu saat hanya dianggap sebagai kultur. Bahwa unjuk rasa yang semula disakralkan sebagai bentuk ungkapan penolakan kebijakan pemerintah sekaligus alat untuk menyampaikan aspirasi, suatu saat hanya dianggap sebagai budaya.
Dalam bahasa lebih sederhana, kebiasaan mahasiswa melakukan unjuk rasa hanya akan dianggap sebagai budaya mahasiswa. Apa yang dilakukan mahasiswa di jalan, berteriak-teriak, membakar ban bekas bukanlah bentuk penolakan dan penyaluran aspirasi, melainkan pelestarian kebudayaan.

Dalam ungkapan lebih sederhana lagi, mahasiswa harus berdemonstrasi. Jika tidak, berarti bukan mahasiswa.

Mari kita melihat masa lalu dan masa depan. Pada masa lalu, ratusan bahkan jutaan mahasiswa melakukan unjuk rasa. Berliter-liter darah mereka teteskan. Dari mulut mereka keluar teriakan tentang nasib rakyat kecil. Namun, di mana mereka saat ini? Bukankah seharusnya mereka yang mengerti nasib rakyat kecil itu, saat ini mendapat giliran menjadi pemimpin bangsa, menjadi wakil-wakil suara dan nasib rakyat? Atau, jangan-jangan mereka tenggelam di balik kursi-kursi kekuasaan?

Lalu, apa yang kira-kira akan keluar dari mulut mereka ketika melihat jutaan mahasiswa berteriak-teriak di jalan menembus barisan petugas keamanan? Mungkin mereka akan berkata, “Biarlah, memang itu kebudayaan mereka. Toh dulu itu juga yang aku lakukan.” Apakah itu juga yang akan kita katakan kelak?
Mungkin itu akan menjadi jawaban dari pertanyaan besar tentang langkah apa yang palin tepat untuk memberantas korupsi dan menyejahterakan rakyat.

Jawabnya tentu bukan dengan berdemonstrasi dan bertindak anarkis menuntut pemberantasan korupsi. Jawabnya sederhana, kita cukup berlatih jujur dalam segala hal dan berusaha sedikit demi sedikit menghentikan aliran “darah tikus” dalam diri kita, para mahasiswa dan seluruh pemuda, sebagai calon pemimpin bangsa. Jadi, pada saatnya kelak, secara otomatis tidak akan ada lagi koruptor di negeri ini. Suara Merdeka (14-08-2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar