-->

Senin, 18 Juli 2011

Atomisasi Gerakan Mahasiswa

Oleh Hammidun Nafi’ Syifauddin

MAHASISWA adalah komunitas terdidik yang mampu berpikir logis. Ketika kemampuan itu berbenturan dengan fakta di masyarakat yang tidak sesuai, lahirlah sebuah gerakan. Lewat gerakan itu, mahasiswa berupaya menormalkan fakta-fakta sosial yang melenceng.
Fakta sosial itu adalah kemiskinan, penindasan terhadap rakyat kecil, permainan hukum oleh mafia hukum, permainan pajak oleh mafia pajak, dan berbagai hal yang barangkali tak berkait dengan bangku kuliah.

Namun dewasa ini ruang pergerakan mahasiswa menyempit. Gerakan mahasiswa hanya mewujud pada gerakan-gerakan berupa protes seperti demonstrasi yang ujung-ujungnya memperoleh predikat ricuh. Atomisasi makin tampak nyata dengan keberadaan organisasi mahasiswa yang berlabel pergerakan, tetapi pergerakannya sebatas unjuk rasa. Tak ada lagi gerakan mahasiswa yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat.
Terisolasi Dominic Strinati dalam buku Popular Culture mengindikasikan, atomisasi ditandai oleh sekumpulan orang yang hanya bisa berhubungan dengan orang lain dalam sekumpulan itu. Hubungan sosial yang dapat dikatakan terisolasi itu akan melahirkan individu yang antimasyarakat. Jika itu terjadi pada mahasiswa, gerakan yang dilakukan masih jauh dari menyentuh kepentingan masyarakat.

Penanaman sikap antimasyarakat terjadi pula pada organisasi kampus, seperti badan eksekutif mahasiswa (BEM) dan organisasi-organisasi di bawahnya. Dari sinilah sebuah pembelajaran hidup bercorak elite politik terjadi. Mahasiswa lebih pandai berorasi daripada melakukan aksi.

Contohnya pada sebuah pemilihan ketua organisasi kampus, banyak sekali cara berkampanye yang meniru gaya elite politik: berorasi dan menebar janji. Meski janji yang mereka ucapkan sudah nyata tak akan mereka tepati.

Hasilnya, tercipta sebuah gaya hidup. Kebiasaan mahasiswa yang cenderung meniru gaya hidup semacam itu, seperti para tokoh politik saat ini yang lebih suka duduk di balik meja daripada berziarah ke gubuk-gubuk hampir rubuh di pinggiran kota, akan melahirkan mahasiswa yang seperti itu pula.

Mahasiswa yang terlahir sebagai insan antimasyarakat itu ketika mendapat kesempatan menduduki jabatan di pemerintahan akan tetap antimasyarakat. Barangkali interaksi dengan masyarakat tetap ada, tetapi kepekaan terhadap fenomena di masyarakat tidak ada.
Kemungkinan lain, keberlanjutan atomisasi telah lama menjangkiti kampus. Mereka hanya akan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungannya. Atau, barangkali, hanya akan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki kedudukan sama.
Harapan Rakyat Atomisasi semacam itu tak seharusnya terjadi pada mahasiswa. Mahasiswa sebagai harapan bangsa harus bisa benar-benar diharapkan. Berbicara masalah bangsa, yang saya adalah rakyat kecil yang jauh dari sejahtera. Jadi jika saya mengatakan harapan bangsa, itu berarti harapan bagi kaum yang sudah sangat merindukan kesejahteraan. Mahasiswa adalah harapan bagi mereka.

Karena itulah, makna gerakan mahasiswa harus diperluas. Gerakan mahasiswa adalah gerakan dengan aktivitas yang bersinggungan langsung dengan masyarakat. Mahasiswa yang terlibat gerakan itu harus yang memiliki kepekaan sosial. Baik secara individu maupun kelompok, kepekaan itu haruslah tetap tertanam.

Mungkin sudah ada sebagian organisasi mahasiswa yang sering melakukan bakti sosial. Itu bagus. Namun lebih bagus lagi jika sikap peduli sosial itu tertanam pada setiap mahasiswa, baik ketika tergabung dalam kelompok itu maupun ketika sendiri.

Jadi ketika berbicara gerakan mahasiswa, orientasi tak lagi pada demonstrasi dan aksi-aksi ekstrem lain. Akan tetapi, gerakan mahasiswa adalah aksi yang bergerak lebih pada kehidupan sosial masyarakat. Gerakan mahasiswa kelak dimaknai sebagai aksi bagi mahasiswa belajar memperjuangkan nasib rakyat kecil.
Suara Merdeka 12 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar