-->

Kamis, 20 Desember 2012

Di Sebuah Kamar Hotel


Cerpen Hammidun Nafi’ Syifauddin
Baiklah, mari kita mulai dari sini. Dari gang sempit sebelah apartemen mewah. Jay menyusuri jalan yang menyerupai lorong gelap. Menyeberangi jalan raya kemudian masuk gang lagi.
Sudah hampir jam tiga pagi. Jalan makin sepi.Tak banyak mobil berkeliaran. Hanya ada beberapa mobil sempoyongan setelah keluar dari tempat hiburan malam. Jay mempercepat langkah.
hotel eks.
Nama hotel itu dicetak dengan huruf kecil. Jay masuk ke hotel itu.
“Kamar penuh!” kata pria kekar berjaket hitam di meja resepsionis.
Jay merogoh saku celana dan mengeluarkan kertas putih. Ada beberapa kalimat di kertas itu, termasuk yang diucapkan pria tadi. Jay membaca kalimat seterusnya.
“Sapi melompat-lompat.”
“Sapu lidi!” balas pria itu.
Jay kembali membaca tulisan di kertasnya.
“Nasi sudah menjadi bubur.”
“Kata sandi diterima, silakan masuk.”
Mereka menuju sebuah kamar.
“Masuklah.”
Pria itu kembali ke lobi. Jay masuk ke kamar. Sudah ada beberapa orang di sana.
“Namamu Jay, benar?”
“Benar Pak.”
“Duduklah.”
“Terimakasih.”
“Roy bilang kamu pandai memanjat?”
“Benar Pak.”
“Jadi, kamu sudah tahu untuk apa kamu di sini?”
Jay menggelengkan kepala.
”Kamu tahu kenapa Roy tak ada di sini?”
Jay menggelengkan kepala lagi.
“Ha ha ha ha ha ha, uhk, uhk, e’ehm, ha ha ha ha.”
Lelaki itu berdiri. Di sabuknya menggantung pistol. Jay baru melihatnya, sebab sejak tadi pria itu duduk di balik meja. Jay gugup. Pria itu mengelus pistol di pinggangnya. Barreta 92.
“He anak muda!!! Sini, berdiri!”
Jay gugup. Lelaki itu menarik Barreta 92 dari kantungnya. Jay menoleh kanan kiri. Nyalinya semakin ciut sebab yang dilihatnya malah para lelaki botak berwajah garang dan tak pernah tersenyum.
“He!!! Sini cepat!”
“Maaf pak, maaf, saya tidak melakukan apa-apa. Sa,,sa,, saya tidak tahu apa-apa.”
“Ha ha ha, tenang anak muda, jangan takut. Pistol ini bukan untuk melukai orang. Ini hanya untuk menjaga diri. Aku tadi hanya menakutimu, ha ha ha.”
Jay mengusap keringat di dahinya.
“Begini, saudaramu Roy adalah orang yang paling pandai memanjat. Kami butuh orang seperti itu untuk pekerjaan yang kami lakukan. Sekarang dia aku tugaskan ke luar kota. Sementara di sini kamu yang menggantikan tugasnya. Kamu benar pandai memanjat kan?”
Jay mengangguk. Wajahnya masih gugup.
“Baiklah, besok akan ku jelaskan banyak hal. Sekarang istirahatlah.”
“Oh, iya. Panggil saja aku Hektor.”
Jay mengangguk. Hektor dan beberapa orang kekar itu keluar kamar. Jay tak habis pikir. Apa hubungan antara pandai memanjat dengan semua yang terjadi tadi. Pekerjaan macam apa yang akan ditanganinya nanti. Kenapa pula Hektor membawa pistol.
“Apa dia itu penjahat? Sial, Roy menjebakku.” Jay curiga.
Jay yakin betul dirinya telah masuk tempat yang salah. Yang kini dia pikirkan adalah bagaimana cara melarikan diri. Ya, dia punya dua pilihan; melarikan diri atau menjadi anak buah penjahat. Jay lari ke pintu.
“Sial, pintunya dikunci.”
***
Di lantai hotel eks paling atas, beberapa pemuda berpakaian serba hitam duduk melingkar. Jay juga ada di sana.
“Di antara kita ada anggota baru. Namanya Jay,” kata Hektor sambil tangannya menunjuk Jay. Semua perhatian tertuju pada Jay.
“Dia menggantikan tugas Roy dan menjadi rekan Brada.”
Pria berkumis tipis melirik Jay sambil tersenyum. “Jangan senyum dulu Brad! Tugasmu kini mengajarinya banyak hal!” Hektor memotong senyum Brada.
“Baiklah, aku tingal dulu, operasi nanti malam harus sukses!”
Hektor melenyap. Disusul beberapa orang yang tadi duduk melingkar. Mereka semua mempunyai ciri khas. Ada yang terus menunduk. Ada yang pendiam. Ada yang memakai kaca mata hitam. Ada yang selalu mengepulkan asap rokok. Ada yang tangannya dimasukkan saku celana. Ada juga yang kalau berbicara seperti orang berpuisi.
Sedangkan Brada, dia biasa saja. Hanya tinggal mereka berdua di tempat itu.
He, aku masih tak mengerti, pekerjaan macam apa ini sebenarnya?” tanya Jay.
“Pekerjaan yang menyenangkan.”
“Iya, apa?”
“Mengambil uang orang!”
“Ha!!? Mencuri maksudmu?”
“Begitu juga boleh.”
“Tidak, tidak, kalian salah orang. Aku tidak mungkin bisa melakukan itu. Aku bukan pencuri!”
“Persis seperti yang aku katakan kepada Hektor dulu.”
“Bukan, bukan, ini beda. Aku tidak mungkin melakukanpencurian.”
“Bagaimana jika aku memaksamu?”
“Tidak! aku akan pulang.”
“Tidak Jay, kau harus tinggal!”
“Tidak! aku mau pulang.”
“He Jay! Aku ingatkan. Kau tahu apa yang menggantung di ikat pinggang Hektor? Bagaimana jika dia menarik pelatuknya dan mengarahkan ke kepalamu? Akan hancur berkeping kepalamu itu.”
Jay terdiam. Dia merinding setelah membayangkan sesuatu.
Sebaliknya Jay, kau akan aman jika menuruti kata-kataku.”
***
“Ingat! Kamar C7 brankas cokelat. Oke? Aku akan naik duluan.”
Brada memanjat tembok, melompati jendela, bergelantungan di pipa saluran air, berhenti di sebuah celah di atas jendela.
“Psst, psst, Jay, tangkap talinya,” bisik Brada sambil menjulurkan tali.
“Naiklah!”
“Sulit!”
“Pakai Ascender itu!”
“Apa? Ascender? Apa itu?”
“Itu yang seperti catut.”
Jay mengeluarkan benda seperti catut dari tas. Menjepitkan ke tali, mendorong ke atas kemudian menaikkan tubuhnya perlahan.
“Woi, lama sekali.”
“Apa kau yakin? Kita akan mencuri?”
“Sudah, jangan banyak cakap. Mana tasnya?”
Brada melubangi jendela dengan alat seperti bolpoin.
“Ayo masuk.”
“Sebentar! Kenapa kita mencuri uang orang?”
“Percayalah, yang kita lakukan ini benar.”
“Tidak! Aku tidak yakin.”
“Baiklah, soal itu, kau tanyakan besok pada Nick. Sekarang bantu aku dulu.”
“Tapi.”
“Cepat atau kita tertangkap!”
***
Sebentar, aku belum bercerita tentang hotel eks. Sebenarnya itu bukan hotel. Tak sembarang orang bisa masuk. Sebab di bagian resepsionis siap berjaga lima pria bertubuh kekar dan ketika ada orang datang mereka selalu berkata “Kamar penuh”. Yang tidak tahu kalau itu sebenarnya sandi akan keluar dan mencari hotel lain.
Di lantai paling atas, kamar pojok kanan disebut kamar pengintai. Hanya ada dua orang di dalamnya. Yang satu berkaca mata, dan yang satu tidak. Ada banyak komputer di ruangan itu.
Maaf, bisa bertemu dengan Nick?” Jay memanggil dari sela pintu kaca.
Pria tak berkaca mata menoleh.
“Masuklah. Ada apa?”
“Bisa jelaskan kenapa kita harus mencuri?”
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Brada.”
“Siapa bilang kita mencuri?”
“Mengambil milik orang, bukankah itu mencuri?”
“Apa kau yakin, yang kau ambil itu miliknya?”
“Kalau bukan, lantas milik siapa?”
“Yang kau ambil semalam itu milik orang banyak. Kita mengambilnya untuk dikembalikan kepada banyak orang.”
“Tapi, bagaimana kamu bisa yakin itu bukan miliknya?”
“Kalau itu, bukan tugasku untuk mencari tahu.”
“Lalu siapa?”
“Orang itu,” tangan Nick menunjuk pria di depan komputer yang selalu mengenakan kaca mata.
“Tanya saja dia.”
“Baiklah. Em, sebentar.”
“Apa lagi?”
“Pertanyaan terakhir. Apakah Hektor pernah membunuh orang dengan pistolnya?”
“Ha ha ha ha ha.”
“Kenapa tertawa?”
“Ha ha ha. Itu bukan pistol sungguhan!”

Hamidun Nafi' Syifauddin
Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar