Cerpen Hammidun Nafi’
Syifauddin
Gerimis ini sangat indah. Ketika datang bersama angin, suaranya seperti
desah perempuan yang bermanja di pundak suaminya. Jika datang di siang hari,
wujudnya merupa kilau permata. Ketika merintik di genangan air, kau mungkin
merasa sedang menyaksikan pertunjukan balet.
Belum juga rerumputan tenggelam oleh
genangan yang dibuatnya, gerimis itu sudah pergi. Kampung ini masih sunyi.
Sepanjang hari jika gerimis tak datang, maka tak ada lain kecuali suara derit
bambu dan kerisik dedaunan yang saling bergesekan.
Kampung ini memang selalu sunyi. Tak
ada anak-anak berlarian untuk sekadar main kejar-kejaran. Pintu-pintu rumah
selalu tertutup. Hanya ada beberapa Ibu yang sesekali keluar rumah, itu pun
dengan wajah tertutup. Jika tidak tertutup, pastilah dia berjalan sambil
menunduk.
Sampai matahari benar-benar terbenam,
beberapa Ibu berduyun
menuju sebuah rumah. Ada kakek tua di sana. Kecuali kakek tua itu, di kampung
ini semua Ibu-ibu.
Ibu-ibu itu memakai lengan panjang warna
kelabu. Satu demi satu masuk rumah kakek tua itu.
Lalu malam benar-benar
gelap. Tapi tak satupun membawa penerang. Sebagai penanda, hanya suara yang tak
lebih keras dari bisik. Kecuali suara ketukan tongkat di lantai kayu
itu—suara tongkat kakek
tua.
“Mari kita mulai,” sang kakek memberi aba-aba.
Para
Ibu menunduk. Tak satupun bersuara. Hening benar malam itu.
Bahkan, jangkrik pun
enggan mengusik. Lamat-lamat memecah hening mereka mengisak, merintih,
melantunkan lagu;
Kami memandang bulan, yang terbayang hanya anak
kami
Kami memandang gemintang, yang tergambar hanya
anak kami
Kami menanam padi, hanya untuk anak-anak
kami
Kami hanya Ibu yang tak tahu apapun selain
anak kami
Mengapa mereka
pergi, mengapa mereka pergi
Yang paling keras adalah suara
Muntamah. Menderas air dari matanya. Rintihnya benar-benar menyayat hati. Ingatannya melayang pada anak laki-laki yang pernah dibesarkannya
dulu.
Menyusul kemudian beberapa
Ibu dengan rintihan yang lebih mengiris hati, dengan air
mata yang lebih membanjiri pipi. Terus menetes, terus menetes, air itu
benar-benar menjelma banjir di lantai.
Butir-butir air mata yang sudah menjelma banjir itu perlahan menguap. Butir demi butir menuju langit tapi
tak benar-benar sampai langit. Sesaat kemudian terdengar deru angin lalu
genting-genting berdesis karena gerimis.
Rupanya itu. Rupanya begitu. Gerimis
yang indah itu adalah air mata para Ibu yang kehilangan
anak-anak lelaki mereka. Anak yang dulu dibesarkan dengan
susah payah.
***
Sebelum musim gerimis seperti ini tiba, kampung ini sangat ramai. Banyak
anak-anak bermain kejar-kejaran, main petak umpet, ada juga
yang bersenang-senang di
sendang belakang kampung.
Di pepohonan bambu sekeliling kampung
ini pernah ramai oleh suara anak-anak yang bermain perang-perangan kemudian berkelahi sungguhan. Saling lempar ejekan
antara beberapa anak yang saling memendam benci. Lalu bernyanyi
bersama-sama setelah saling lupa akan masalah
masing-masing.
Ketika sore datang, mereka pulang.
Kemudian berangkat lagi bersama-sama ke rumah kakek tua. Di sana mereka mengaji
dan belajar mengerti segala hal tentang kebaikan. Di rumah, para ayah
ikut mengajari bagaimana kelak dosa
akan mendapat balasan.
Para ayah berjuang sangat keras
membesarkan anak-anak mereka. Para Ibu tak pernah kurang
menunjukkan kasih sayang. Begitu hingga mereka dewasa.
Tibalah saatnya mereka mencari ilmu
yang lebih luas dari kampung ini. Satu demi satu berpamit. Para ayah berjuang
makin keras untuk membiayai mereka.
***
Benarlah memang.
Mereka yang dulu hanya anak-anak. Kini pulang dengan berbagai kebanggaan. Daus
yang dulu bahkan tak bisa membersihkan ingusnya sendiri, kini pulang membawa
mobil mewah. Anharu yang dulu cuma bisa menangis ketika diejek teman-temannya
kini sudah bisa membikin istana. Begitu juga dengan yang lain.
Setiap kali pulang dari rantau,
kampung ini seperti hari raya. Makanan, uang, pakaian, dan lain macam lagi
membuat segala yang disebut kesusahan lari terbirit-birit
dari kampung ini.
“Oh, iya, aku belum tahu apa pekerjaan
kalian sebenarnya,” pertanyaan Muntamah menghentikan pesta sejenak.
“Ini pekerjaan yang baik Mak,” Daus
menjawab. Teman-teman yang lain mengamini dengan menganggukkan
kepala.
“Benar Mak, pokoknya emak-emak tidak
usah khawatir,” celetuk Anharu.
“Iya, macam apa pekerjaan yang baik
itu?” Muntamah bertanya lagi.
“Kami di sana punya kantor, kursinya
empuk, mejanya bagus, kalau bekerja memakai dasi, beberapa bulan sekali ada
rapat, dalam rapat itu kami boleh sambil tiduran.”
“Lho, sambil tiduran? Tidak
mencangkul? Tidak menanam? Lalu darimana dapat uang?”
“Itulah namanya kerja modern
mak. Modern.”
“Iya, yang membayar siapa?”
“Ah itu tak penting mak, yang penting
kami banyak duit untuk dibawa pulang.”
Muntamah masih penasaran, sebab yang
ia tahu selama ini bekerja adalah memeras keringat. Sekalipun keringat terperas
habis, tak pula satu istana terbangun. Beda dengan cerita Daus yang hanya
tiduran tapi banyak uang dihasilkan.
Rasa penasaran Muntamah makin
menjadi-jadi setelah melihat keganjilan pada anaknya. Perempuan-perempuan lain
merasakan hal yang sama. Suatu ketika mereka pulang dari rantau, wajah mereka
tak lagi menyerupai manusia.
“Kenapa dengan wajahmu?” tanya seorang
Ibu kepada Anharu.
“Ha? Tak ada apa-apa,” Anharu
menjawab.
Para
Ibu miris melihat wajah
anak-anak mereka menyerupai tikus. Tapi tak sedikitpun anak-anak itu menyadari.
Mereka masih saja senyum-senyum. Para bapak yang juga menyadari keganjilan itu
segera meluncurkan berjuta tanya. Tapi wajah mereka sudah terlanjur menyerupai
tikus.
“Apa aku kurang banyak mengajarimu
tentang dosa?”
Anak-anak itu diam.
“Apa aku kurang tegas mengajarimu
tentang dosa?” para bapak kembali bertanya.
Mereka tak bergeming, kecuali Anharu. Dia berdiri. Nada bicaranya
keras.
“Teruslah berpikir dosa. Teruslah
tinggal di gubukmu yang reyot itu.”
Satu
demi satu mereka mulai berani membantah. Suasana menjadi ramai karena
cekcok antara ayah dan anak. Sementara wajah mereka terus
berubah menyerupai tikus. Mereka
terus membantah. Lalu satu demi satu pergi. Tak tersisa. Dan tak
kembali.
Para
bapak tak henti meratapi. Tinggal para Ibu. Para
Ibu yang setiap malam
menangis kemudian paginya menjadi gerimis. Tinggallah kampung sunyi yang semakin
sunyi. Gerimis itu makin hari makin menderas. Menjadi hujan. Terus menderas dan
akan makin deras.
Untuk Ibu pertiwi
Hamidun Nafi’ Syifauddin
Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar