-->

Kamis, 20 Desember 2012

Tentang Gerimis di Kampung yang Selalu Sunyi


Cerpen Hammidun Nafi’ Syifauddin
Gerimis ini sangat indah. Ketika datang bersama angin, suaranya seperti desah perempuan yang bermanja di pundak suaminya. Jika datang di siang hari, wujudnya merupa kilau permata. Ketika merintik di genangan air, kau mungkin merasa sedang menyaksikan pertunjukan balet.
Belum juga rerumputan tenggelam oleh genangan yang dibuatnya, gerimis itu sudah pergi. Kampung ini masih sunyi. Sepanjang hari jika gerimis tak datang, maka tak ada lain kecuali suara derit bambu dan kerisik dedaunan yang saling bergesekan.
Kampung ini memang selalu sunyi. Tak ada anak-anak berlarian untuk sekadar main kejar-kejaran. Pintu-pintu rumah selalu tertutup. Hanya ada beberapa Ibu yang sesekali keluar rumah, itu pun dengan wajah tertutup. Jika tidak tertutup, pastilah dia berjalan sambil menunduk.
Sampai matahari benar-benar terbenam, beberapa Ibu berduyun menuju sebuah rumah. Ada kakek tua di sana. Kecuali kakek tua itu, di kampung ini semua Ibu-ibu.
Ibu-ibu itu memakai lengan panjang warna kelabu. Satu demi satu masuk rumah kakek tua itu. Lalu malam benar-benar gelap. Tapi tak satupun membawa penerang. Sebagai penanda, hanya suara yang tak lebih keras dari bisik. Kecuali suara ketukan tongkat di lantai kayu itu—suara tongkat kakek tua.
“Mari kita mulai,” sang kakek memberi aba-aba.
Para Ibu menunduk. Tak satupun bersuara. Hening benar malam itu. Bahkan, jangkrik pun enggan mengusik. Lamat-lamat memecah hening mereka mengisak, merintih, melantunkan lagu;
Kami memandang bulan, yang terbayang hanya anak kami
Kami memandang gemintang, yang tergambar hanya anak kami
Kami menanam padi, hanya untuk anak-anak kami
Kami hanya Ibu yang tak tahu apapun selain anak kami
Mengapa mereka pergi, mengapa mereka pergi
Yang paling keras adalah suara Muntamah. Menderas air dari matanya. Rintihnya benar-benar menyayat hati. Ingatannya melayang pada anak laki-laki yang pernah dibesarkannya dulu.
Menyusul kemudian beberapa Ibu dengan rintihan yang lebih mengiris hati, dengan air mata yang lebih membanjiri pipi. Terus menetes, terus menetes, air itu benar-benar menjelma banjir di lantai.
Butir-butir air mata yang sudah menjelma banjir itu perlahan menguap. Butir demi butir menuju langit tapi tak benar-benar sampai langit. Sesaat kemudian terdengar deru angin lalu genting-genting berdesis karena gerimis.
Rupanya itu. Rupanya begitu. Gerimis yang indah itu adalah air mata para Ibu yang kehilangan anak-anak lelaki mereka. Anak yang dulu dibesarkan dengan susah payah.
***
Sebelum musim gerimis seperti ini tiba, kampung ini sangat ramai. Banyak anak-anak bermain kejar-kejaran, main petak umpet, ada juga yang bersenang-senang di sendang belakang kampung.
Di pepohonan bambu sekeliling kampung ini pernah ramai oleh suara anak-anak yang bermain perang-perangan kemudian berkelahi sungguhan. Saling lempar ejekan antara beberapa anak yang saling memendam benci. Lalu bernyanyi bersama-sama setelah saling lupa akan masalah masing-masing.
Ketika sore datang, mereka pulang. Kemudian berangkat lagi bersama-sama ke rumah kakek tua. Di sana mereka mengaji dan belajar mengerti segala hal tentang kebaikan. Di rumah, para ayah ikut mengajari bagaimana kelak dosa akan mendapat balasan.
Para ayah berjuang sangat keras membesarkan anak-anak mereka. Para Ibu tak pernah kurang menunjukkan kasih sayang. Begitu hingga mereka dewasa.
Tibalah saatnya mereka mencari ilmu yang lebih luas dari kampung ini. Satu demi satu berpamit. Para ayah berjuang makin keras untuk membiayai mereka.
***
Benarlah memang. Mereka yang dulu hanya anak-anak. Kini pulang dengan berbagai kebanggaan. Daus yang dulu bahkan tak bisa membersihkan ingusnya sendiri, kini pulang membawa mobil mewah. Anharu yang dulu cuma bisa menangis ketika diejek teman-temannya kini sudah bisa membikin istana. Begitu juga dengan yang lain.
Setiap kali pulang dari rantau, kampung ini seperti hari raya. Makanan, uang, pakaian, dan lain macam lagi membuat segala yang disebut kesusahan lari terbirit-birit dari kampung ini.
“Oh, iya, aku belum tahu apa pekerjaan kalian sebenarnya,” pertanyaan Muntamah menghentikan pesta sejenak.
“Ini pekerjaan yang baik Mak,” Daus menjawab. Teman-teman yang lain mengamini dengan menganggukkan kepala.
“Benar Mak, pokoknya emak-emak tidak usah khawatir,” celetuk Anharu.
“Iya, macam apa pekerjaan yang baik itu?” Muntamah bertanya lagi.
“Kami di sana punya kantor, kursinya empuk, mejanya bagus, kalau bekerja memakai dasi, beberapa bulan sekali ada rapat, dalam rapat itu kami boleh sambil tiduran.”
“Lho, sambil tiduran? Tidak mencangkul? Tidak menanam? Lalu darimana dapat uang?”
“Itulah namanya kerja modern mak. Modern.”
“Iya, yang membayar siapa?”
“Ah itu tak penting mak, yang penting kami banyak duit untuk dibawa pulang.”
Muntamah masih penasaran, sebab yang ia tahu selama ini bekerja adalah memeras keringat. Sekalipun keringat terperas habis, tak pula satu istana terbangun. Beda dengan cerita Daus yang hanya tiduran tapi banyak uang dihasilkan.
Rasa penasaran Muntamah makin menjadi-jadi setelah melihat keganjilan pada anaknya. Perempuan-perempuan lain merasakan hal yang sama. Suatu ketika mereka pulang dari rantau, wajah mereka tak lagi menyerupai manusia.
“Kenapa dengan wajahmu?” tanya seorang Ibu kepada Anharu.
“Ha? Tak ada apa-apa,” Anharu menjawab.
Para Ibu miris melihat wajah anak-anak mereka menyerupai tikus. Tapi tak sedikitpun anak-anak itu menyadari. Mereka masih saja senyum-senyum. Para bapak yang juga menyadari keganjilan itu segera meluncurkan berjuta tanya. Tapi wajah mereka sudah terlanjur menyerupai tikus.
“Apa aku kurang banyak mengajarimu tentang dosa?”
Anak-anak itu diam.
“Apa aku kurang tegas mengajarimu tentang dosa?” para bapak kembali bertanya.
Mereka tak bergeming, kecuali Anharu. Dia berdiri. Nada bicaranya keras.
“Teruslah berpikir dosa. Teruslah tinggal di gubukmu yang reyot itu.”
Satu demi satu mereka mulai berani membantah. Suasana menjadi ramai karena cekcok antara ayah dan anak. Sementara wajah mereka terus berubah menyerupai tikus. Mereka terus membantah. Lalu satu demi satu pergi. Tak tersisa. Dan tak kembali.
Para bapak tak henti meratapi. Tinggal para Ibu. Para Ibu yang setiap malam menangis kemudian paginya menjadi gerimis. Tinggallah kampung sunyi yang semakin sunyi. Gerimis itu makin hari makin menderas. Menjadi hujan. Terus menderas dan akan makin deras.
Untuk Ibu pertiwi
Hamidun Nafi’ Syifauddin
Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar