Cerpen Hamidun Nafi' Syifauddin
Ada yang memanggilku dari gubuk itu
setiap pagi. Kadang suara anak kecil, kadang suara perempuan. Aku tak yakin ini
adalah kali pertama aku berkunjung. Tapi aku tak dapat mengingat apakah aku
benar-benar penah ke sana.
Pagi itu kau diam. Ketika aku berharap tahu siapa nama ayah gadis kecil
yang selalu bersembunyi di balik punggungmu, bergelayutan di lenganmu, kemudian
lari ke balik pintu ketika aku menemukannya.
Kau
menyembunyikan sesuatu dariku. Aku yakin betul. Kau memperlihatkan logat tak
wajar. Kau nampak gugup ketika aku mendekati foto
pernikahanmu.
Pun berbagai kisah tentang
meja itu. Meja yang
kini hanya ada pot bunga
kecil yang merindukan asbak rokok. Sepertinya di situ tempatmu dulu merangkai
malam. Sampai kemudian suara kecil memercik
dari dalam kamar membubarkan kalian. Itu suara
gadis kecilmu yang kehausan. Suara gadis kecilmu yang mimpi dikejar-kejar
binatang jahat.
Kau masih menyimpan itu. Pencukur kumis yang dulu sering
dipakai suamimu. Usang dan berdebu. Nampaknya sudah lama tak
dipakai. Itu
berarti, lama pula dia meninggalkanmu
dan gadis kecilmu. Aku melihat banyak debu menutupimu. Mungkin kau sengaja
menyimpannya. Dan aku adalah lelaki pengganggu yang berusaha mengorek dan
menyibak debu itu. Tapi kau tak
kuat―kau batuk. Kau
menangis.
Begitu yang kau lakukan setiap hari.
Pura-pura kau pergi ke dapur untuk membuatkan teh. Aku tahu, tak ada teh yang kau buat. Kau
hanya menghanyutkan tangis dalam bising suara panci. Setelah matamu kering, kau
berkata dengan jujur, kau tak punya gula.
Aku duduk di
depanmu
“Sudah dua hari kau tak dapat cucian,
kau pasti tak punya uang,” ucapku sambil menyodorkan uang.
“Abang?” kau menjawab dengan
pertanyaan. Kau tak segera mengambil uang itu. Kau malah berdiri. Kau berjalan
ke depan pintu. Sepertinya kau hawatir ada yang mengawasimu.
“Nanti kalau ibu tahu, aku bisa kena
marah.”
“Ibu siapa?
Ibuku?”
Kau mengangguk.
Aku
tak habis pikir mengapa kau takut kepada wanita tua yang suka
mengaturku itu. Aku tak pernah peduli.
“Jika abang tak kembali ke rumah
sekarang, ibu akan mencari abang ke sini.”
“Biarlah, aku tak
peduli.”
“Iya bang, aku tahu abang tak peduli,
sama dengan yang dikatakan ibu abang!”
Aku jadi teringat terakhir kali wanita tua itu meluruskan
telunjuknya tepat di depan matamu. “Aku tak
peduli, kau pasti menggodanya,” bentaknya.
Aku mengalah. Satu
tekatku adalah suatu saat tahu siapa nama ayah gadis kecilmu. Entah sejak kapan
aku menjadi benci suamimu. Aku tak butuh alasan kuat untuk
perbuatanku yang satu ini. Yang
pasti, aku benci karena dia
meninggalkanmu dan gadis kecilmu. Itu saja
cukup.
***
Aku bersama gadis kecilmu ketika kau
mengambil cucian ke rumah cak Hamdan, diam-diam aku datang ke gubukmu. Gadis
kecilmu ada sendiri di kamar. Aku mendekatinya. Kau tentu bisa mengira apa yang
aku tanyakan padanya. Dia menjawab dengan jelas “Namaku Ratih, maksudku Ayu
Winarti, tapi ibu memanggilku Ratih.”
“Berapa usiamu?”
“Kata ibu, tujuh
tahun.”
“Kamu tidak
sekolah?”
Dia
menjawabnya dengan menggelengkan kepala. Sebelumnya aku mengira Ratih pemalu,
ternyata salah, bukan pula ia penakut. Meski ia selalu lari ketika aku datang
menemuimu.
“Kata ibu, paman itu hantu. Ibu
menyuruhku bersembunyi ketika ada paman.”
Aku terkejut mendengar ucapan Ratih.
Tapi aku juga ingin tertawa. Kau seperti tak punya alasan lain untuk membuat
Ratih takut melihatku.
“Hantu katamu? Sini mendekatlah
kepada hantu,” aku menarik tangannya yang lembut sambil menahan
senyum.
“Paman ini hantu yang baik, Ratih tak
usah takut. Aneh sekali ibumu, mengapa menyebutku hantu. Mungkin maksud ibumu
adalah paman selalu datang ketika ibumu sedang tidak menginginkan kedatangan
paman. Jadi mungkin maksudnya bukan hantu, tapi seperti
hantu.”
“Seperti hantu?”
“Iya maniiiis,” jawabku sambil
mencubit hidungnya yang kurang panjang untuk bisa dikatakan
mancung.
Aku ingin kau juga mengingat hari
itu. Hari yang lumayan panjang untuk membuatnya tertawa sampai akhirnya tertidur
di gendonganku. Aku tak membicarakan apapun yang menyangkut nama ayah Ratih.
Karena aku tahu Ratih terlalu awam untuk itu.
Hingga akhirnya kau datang. Kau
melepas Ratih dari punggungku. Pelan-pelan kau meletakkannya di
kasur.
“Sudah beres? cuciannya?”
tanyaku.
“Sudah bang.”
“Emm.. bang.”
“Ya.”
“Bukankah abang masih ingat, kemarin
aku melarang abang datang kemari?”
“Iya, ingat. Tapi
kenapa?”
Kau diam. Lama.
“Ah, kau selalu diam ketika aku
menanyakan soal kenapa.”
“Kamu tak tahu-menahu
bang!”
“Iya, makanya beri tahu aku. Juga mengenai kata orang-orang, aku ada
hubungannya dengan suamimu yang pergi itu. Apa hubunganku dengan suamimu? Kau
tahu dan kau tak mau memberi tahu.”
“Jangan bicarakan lagi soal itu bang.”
“Terserah kamu. Mau sampai kapan kau
membuatku seperti orang bodoh.”
“Tapi aku tak bermaksud membuat abang
seperti orang bodoh.”
“Lalu kenapa kau tak memberi
tahuku?”
Lagi-lagi kau diam. Yang ini
lebihlama dari tadi. Semua menjadi hening. Sampai kau mengeluarkan nada
lirih.
“Suamiku laki-laki seperti
abang.”
“Terus..”
“Sejak awal aku dibawa ke rumahnya
aku sudah tahu ibunya tak setuju, ibunya tak suka kepadaku karena aku tak punya
ayah. Tapi suamiku ngotot menikahiku. Alasannya cinta. Kami jadi menikah. Namun
akhirnya ibu suamiku yang tak mengerti cinta itu memaksa suamiku untuk melupakan
istrinya, melupakan anaknya dan masa lalunya.”
Kau melanjutkan cerita dengan tidak
mengeluarkan suara. Aku tetap menjadi pendengar. Lagi-lagi
hening.
“Ehm..!” suara wanita tua memecah keheningan. Aku kenal betul suara itu.
Ya, itu suara ibuku.
“Jika kau tak pulang sekarang, aku
akan mempercepat pernikahanmu dengan Meda,” jari tangannya menunjuk ke luar.
Matanya terus melotot.
Sial. Aku selalu kalah dengan ancaman
ini. Tak mungkin aku menikah dengan wanita yang sedikitpun aku tak mencintainya.
Aku berjalan keluar. Menjauh dan semakin jauh. Di tempat yang jauh itu aku masih
melihat wanita tua ngoceh di depanmu. Kau berlari ke dapur. Aku tahu dan hafal
apa yang kau lakukan di dapur.
***
Aku sakit. Aku tak tahu sakit apa.
Pagi ini aku akan dibawa berobat. Untuk penyakitku itu ibu lebih percaya dukun
dibanding dokter.
“Sudah sampai rupanya, silakan
masuk,” dukun itu menyambut di depan pintu.
“Bagaimana bu? Ada kemajuan?” tanya
dukun itu lirih.
“Lumayan, tapi akhir-akhir ini dia
sering melanggar laranganku. Aku takut jika kambuh lagi, mungkin jampi-jampinya
harus ditambah.”
Aku tak mengerti apa yang mereka
bicarakan. Mereka melanjutkan dengan suara-suara kecil dan sepertinya kode-kode.
Aku semakin tak mengerti.
“Maaf saya lupa, siapa
namanya?”
“Perempuan itu? Atau
anakku?”
“Anak ibu.”
“Arjuna.”
Mulut dukun itu komat-kamit. Ada mantra yang
dirapalkan. Sesekali namaku disebut dalam
mantranya. Kemudian dia masuk ke kamar belakang. Dia keluar membawa segelas air.
Aku diminta untuk meminumnya. Aku mengikuti apa yang mereka
minta.
***
Aku kembali datang ke rumahmu. Kau ada di dalam dengan
gadis kecilmu. Aku langsung masuk meski kau belum mempersilakan.
Aku duduk di depanmu. Sorot matamu penuh tanya.
“Bang?”
“Ya.”
“Abang sakit?”
“Sepertinya
tidak.”
“Abang yakin?”
“Aku yakin tidak,
tapi kata ibu aku sakit. Tapi
tenang, kemarin sudah
berobat.”
“Berobat kemana
bang?”
“Biasa, langganan Ibu.”
“Dukun itu?”
“Iya.”
Kau memalingkan mata. Tangan kananmu
meremas tangan kirimu. Raut mukamu penuh marah.
“Abang! kau mau begitu saja dibawa berobat sementara kau sendiri tak tahu
sakit apa. Apa kau belum menyadari sesuatu bang?”
“Menyadari apa?”
“Baiklah bang, sekarang jawab, siapa
nama anakku ini?”
Aku merasa asing dengan gadis kecil
dipangkuanmu.
“Abang, percaya atau tidak, sudah
lebih dari sepuluh kali aku membari tahukan nama anakku
bang.”
Aku menjadi
bingungung.
“Baiklah bang, sudah saatnya aku bercerita
tentang suamiku.”
“Dia laki-laki yang malang. Dia mencintaiku. Aku mencintainya. Tapi
ibunya tidak mencintai kami berdua. Dia sering diberi obat. Obat untuk melupakan
segalanya.”
“Iya, siapa dia?”
“Arjuna bang! namanya Arjuna!”
Kau pergi ke dapur. Tiba-tiba aku merasa asing
dengan nama Arjuna. Di dapur kau
pukulkan panci ke tembok berulang-ulang sambil memaki-maki ibuku dan dukun itu.
Aku tak mempedulikanmu. Aku terus mencoba mengingat-ingat
nama Arjuna. Siapa Arjuna, siapa Arjuna, siapa Arjuna. Aku tak ingat apapun
tentang Arjuna.
Semarang, 2011
Hamidun Nafi’ Syifauddin
Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki
Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar