-->

Kamis, 20 Desember 2012

Tentang Suamimu yang Tidak Kukenal


Cerpen Hamidun Nafi' Syifauddin

Ada yang memanggilku dari gubuk itu setiap pagi. Kadang suara anak kecil, kadang suara perempuan. Aku tak yakin ini adalah kali pertama aku berkunjung. Tapi aku tak dapat mengingat apakah aku benar-benar penah ke sana.

Pagi itu kau diam. Ketika aku berharap tahu siapa nama ayah gadis kecil yang selalu bersembunyi di balik punggungmu, bergelayutan di lenganmu, kemudian lari ke balik pintu ketika aku menemukannya.

Kau menyembunyikan sesuatu dariku. Aku yakin betul. Kau memperlihatkan logat tak wajar. Kau nampak gugup ketika aku mendekati foto pernikahanmu.
Pun berbagai kisah tentang meja itu. Meja yang kini hanya ada pot bunga kecil yang merindukan asbak rokok. Sepertinya di situ tempatmu dulu merangkai malam. Sampai kemudian suara kecil memercik dari dalam kamar membubarkan kalian. Itu suara gadis kecilmu yang kehausan. Suara gadis kecilmu yang mimpi dikejar-kejar binatang jahat.
Kau masih menyimpan itu. Pencukur kumis yang dulu sering dipakai suamimu. Usang dan berdebu. Nampaknya sudah lama tak dipakai. Itu berarti, lama pula dia meninggalkanmu dan gadis kecilmu. Aku melihat banyak debu menutupimu. Mungkin kau sengaja menyimpannya. Dan aku adalah lelaki pengganggu yang berusaha mengorek dan menyibak debu itu. Tapi kau tak kuat―kau batuk. Kau menangis.
Begitu yang kau lakukan setiap hari. Pura-pura kau pergi ke dapur untuk membuatkan teh. Aku tahu, tak ada teh yang kau buat. Kau hanya menghanyutkan tangis dalam bising suara panci. Setelah matamu kering, kau berkata dengan jujur, kau tak punya gula.
Aku duduk di depanmu
“Sudah dua hari kau tak dapat cucian, kau pasti tak punya uang,” ucapku sambil menyodorkan uang.
“Abang?” kau menjawab dengan pertanyaan. Kau tak segera mengambil uang itu. Kau malah berdiri. Kau berjalan ke depan pintu. Sepertinya kau hawatir ada yang mengawasimu.
“Nanti kalau ibu tahu, aku bisa kena marah.”
“Ibu siapa? Ibuku?”
Kau mengangguk.
Aku tak habis pikir mengapa kau  takut kepada wanita tua yang suka mengaturku itu. Aku tak pernah peduli.
“Jika abang tak kembali ke rumah sekarang, ibu akan mencari abang ke sini.”
“Biarlah, aku tak peduli.”
“Iya bang, aku tahu abang tak peduli, sama dengan yang dikatakan ibu abang!”
Aku jadi teringat terakhir kali wanita tua itu meluruskan telunjuknya tepat di depan matamu. “Aku tak peduli, kau pasti menggodanya,” bentaknya.
Aku mengalah. Satu tekatku adalah suatu saat tahu siapa nama ayah gadis kecilmu. Entah sejak kapan aku menjadi benci suamimu. Aku tak butuh alasan kuat untuk perbuatanku yang satu ini. Yang pasti, aku benci karena dia meninggalkanmu dan gadis kecilmu. Itu saja cukup.
***
Aku bersama gadis kecilmu ketika kau mengambil cucian ke rumah cak Hamdan, diam-diam aku datang ke gubukmu. Gadis kecilmu ada sendiri di kamar. Aku mendekatinya. Kau tentu bisa mengira apa yang aku tanyakan padanya. Dia menjawab dengan jelas “Namaku Ratih, maksudku Ayu Winarti, tapi ibu memanggilku Ratih.”
“Berapa usiamu?”
“Kata ibu, tujuh tahun.”
“Kamu tidak sekolah?”
Dia menjawabnya dengan menggelengkan kepala. Sebelumnya aku mengira Ratih pemalu, ternyata salah, bukan pula ia penakut. Meski ia selalu lari ketika aku datang menemuimu.
“Kata ibu, paman itu hantu. Ibu menyuruhku bersembunyi ketika ada paman.”
Aku terkejut mendengar ucapan Ratih. Tapi aku juga ingin tertawa. Kau seperti tak punya alasan lain untuk membuat Ratih takut melihatku.
“Hantu katamu? Sini mendekatlah kepada hantu,” aku menarik tangannya yang lembut sambil menahan senyum.
“Paman ini hantu yang baik, Ratih tak usah takut. Aneh sekali ibumu, mengapa menyebutku hantu. Mungkin maksud ibumu adalah paman selalu datang ketika ibumu sedang tidak menginginkan kedatangan paman. Jadi mungkin maksudnya bukan hantu, tapi seperti hantu.”
“Seperti hantu?”
“Iya maniiiis,” jawabku sambil mencubit hidungnya yang kurang panjang untuk bisa dikatakan mancung.
Aku ingin kau juga mengingat hari itu. Hari yang lumayan panjang untuk membuatnya tertawa sampai akhirnya tertidur di gendonganku. Aku tak membicarakan apapun yang menyangkut nama ayah Ratih. Karena aku tahu Ratih terlalu awam untuk itu.
Hingga akhirnya kau datang. Kau melepas Ratih dari punggungku. Pelan-pelan kau meletakkannya di kasur.
“Sudah beres? cuciannya?” tanyaku.
“Sudah bang.”
“Emm.. bang.”
“Ya.”
“Bukankah abang masih ingat, kemarin aku melarang abang datang kemari?”
“Iya, ingat. Tapi kenapa?”
Kau diam. Lama.
“Ah, kau selalu diam ketika aku menanyakan soal kenapa.”
“Kamu tak tahu-menahu bang!”
“Iya, makanya beri tahu aku. Juga mengenai kata orang-orang, aku ada hubungannya dengan suamimu yang pergi itu. Apa hubunganku dengan suamimu? Kau tahu dan kau tak mau memberi tahu.”
“Jangan bicarakan lagi soal itu bang.”
“Terserah kamu. Mau sampai kapan kau membuatku seperti orang bodoh.”
“Tapi aku tak bermaksud membuat abang seperti orang bodoh.”
“Lalu kenapa kau tak memberi tahuku?”
Lagi-lagi kau diam. Yang ini lebihlama dari tadi. Semua menjadi hening. Sampai kau mengeluarkan nada lirih.
“Suamiku laki-laki seperti abang.”
“Terus..”
“Sejak awal aku dibawa ke rumahnya aku sudah tahu ibunya tak setuju, ibunya tak suka kepadaku karena aku tak punya ayah. Tapi suamiku ngotot menikahiku. Alasannya cinta. Kami jadi menikah. Namun akhirnya ibu suamiku yang tak mengerti cinta itu memaksa suamiku untuk melupakan istrinya, melupakan anaknya dan masa lalunya.”
Kau melanjutkan cerita dengan tidak mengeluarkan suara. Aku tetap menjadi pendengar. Lagi-lagi hening.
“Ehm..!” suara wanita tua memecah keheningan. Aku kenal betul suara itu. Ya, itu suara ibuku.
“Jika kau tak pulang sekarang, aku akan mempercepat pernikahanmu dengan Meda,” jari tangannya menunjuk ke luar. Matanya terus melotot.
Sial. Aku selalu kalah dengan ancaman ini. Tak mungkin aku menikah dengan wanita yang sedikitpun aku tak mencintainya. Aku berjalan keluar. Menjauh dan semakin jauh. Di tempat yang jauh itu aku masih melihat wanita tua ngoceh di depanmu. Kau berlari ke dapur. Aku tahu dan hafal apa yang kau lakukan di dapur.
***
Aku sakit. Aku tak tahu sakit apa. Pagi ini aku akan dibawa berobat. Untuk penyakitku itu ibu lebih percaya dukun dibanding dokter.
“Sudah sampai rupanya, silakan masuk,” dukun itu menyambut di depan pintu.
“Bagaimana bu? Ada kemajuan?” tanya dukun itu lirih.
“Lumayan, tapi akhir-akhir ini dia sering melanggar laranganku. Aku takut jika kambuh lagi, mungkin jampi-jampinya harus ditambah.”
Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Mereka melanjutkan dengan suara-suara kecil dan sepertinya kode-kode. Aku semakin tak mengerti.
“Maaf saya lupa, siapa namanya?”
“Perempuan itu? Atau anakku?”
“Anak ibu.”
“Arjuna.”
Mulut dukun itu komat-kamit. Ada mantra yang dirapalkan. Sesekali namaku disebut dalam mantranya. Kemudian dia masuk ke kamar belakang. Dia keluar membawa segelas air. Aku diminta untuk meminumnya. Aku mengikuti apa yang mereka minta.
***
Aku kembali datang ke rumahmu. Kau ada di dalam dengan gadis kecilmu. Aku langsung masuk meski kau belum mempersilakan. Aku duduk di depanmu. Sorot matamu penuh tanya.
“Bang?”
“Ya.”
“Abang sakit?”
“Sepertinya tidak.”
“Abang yakin?”
Aku yakin tidak, tapi kata ibu aku sakit. Tapi tenang, kemarin sudah berobat.”
“Berobat kemana bang?”
Biasa, langganan Ibu.
“Dukun itu?”
“Iya.”
Kau memalingkan mata. Tangan kananmu meremas tangan kirimu. Raut mukamu penuh marah.
“Abang! kau mau begitu saja dibawa berobat sementara kau sendiri tak tahu sakit apa. Apa kau belum menyadari sesuatu bang?”
“Menyadari apa?”
“Baiklah bang, sekarang jawab, siapa nama anakku ini?”
Aku merasa asing dengan gadis kecil dipangkuanmu.
“Abang, percaya atau tidak, sudah lebih dari sepuluh kali aku membari tahukan nama anakku bang.”
Aku menjadi bingungung.
“Baiklah bang, sudah saatnya aku bercerita tentang suamiku.
“Dia laki-laki yang malang. Dia mencintaiku. Aku mencintainya. Tapi ibunya tidak mencintai kami berdua. Dia sering diberi obat. Obat untuk melupakan segalanya.”
“Iya, siapa dia?”
“Arjuna bang! namanya Arjuna!”
Kau pergi ke dapur. Tiba-tiba aku merasa asing dengan nama Arjuna. Di dapur kau pukulkan panci ke tembok berulang-ulang sambil memaki-maki ibuku dan dukun itu. Aku tak mempedulikanmu. Aku terus mencoba mengingat-ingat nama Arjuna. Siapa Arjuna, siapa Arjuna, siapa Arjuna. Aku tak ingat apapun tentang Arjuna.
Semarang,  2011
Hamidun Nafi’ Syifauddin
Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar