-->

Kamis, 20 Desember 2012

Serabi Kelabu


Cerpen Hamidun Nafi’ Syifauddin
Satu hal yang tak pernah aku lupakan adalah cara mengingatmu. Membawamu dari alam yang telah lalu untuk menyusun kembali gerak tubuhmu dalam imajinasiku. Menyusun kembali senyummu dalam kelopak mataku. Atau sekadar menjelmakan angin menjadi suaramu.
Satu hal lain yang tak pernah berhasil aku pelajari adalah cara melupakanmu. Menghapus segala yang telah terekam menjadi ruang hitam hampa. Atau ruang putih tanpa pangkal ujung, sehingga siapapun yang melihat tak akan mampu mendefinisikan apapun.
Beringin di ujung kampung itu menjadi satu bagian yang tak mampu kuhapuskan. Kicau burung perenjak meliuk panjang menyatu dengan sapuan angin. Getarannya mengisyaratkan kedamaian alam dengan segala romantikanya. Di dahan paling rendah itu tanganmu bergelayutan sambil memetik beberapa daun. Daun yang secara umur belum pantas pisah dari pohonnya. Dan ketika angin datang, telapak tanganmu menengadah. Sekejap daun yang kau remas hambur bersama angin.
Di depanmu   di sebuah kursi, aku meneduhkan tubuh dari matahari sore. Batang pohon yang besar cukup untuk melindungi lima orang di sebelahku. Sesekali kau duduk. Nampaknya telah habis bahan perbincangan kita. Perbincangan yang tersisa hanya keluhan-keluhan kecil tentang warung serabi Pak Leman.
“Sudah sore begini belum juga buka ya, Kang?”
“Kita tunggu sambil berjalan ke sana saja.”
Aku berdiri dan menggandeng tanganmu. Dari pertigaan, nampak sesosok tua berpeci putih menarik pintu warung. Dari dalam warung, uap santan bercampur gula jawa mengepul ke udara. Beberapa pelanggan yang sudah berdiri di depan memperlebar lubang hidung kemudian menarik napas dalam-dalam.
“Oh, mari duduk. Silakan, silakan.” Pak Leman menyambut pelanggan sambil menarik kursi dari bawah meja.
“Silakan, Mas. Silakan, Mbak,” Pak Leman menyambut pelanggan yang baru datang.
Kau mencari meja paling ujung. Aku di sebelahmu. Matahari yang semakin ke barat meninggalkan bayangan pohon beringin di meja-meja itu. Burung yang berpindah-pindah dahan membentuk kelebatan hitam di meja.
Tak berselang lama, dua porsi serabi menghampiri meja. Warnanya putih pucat. Di permukaannya ada rona kuning kehitaman, perpaduan tepung beras dan santan yang terbakar. Kuahnya manis. Tapi tak pula terlalu manis. Sedap.
“Kau pernah mendengar dongeng Serabi Kelabu?”
“Serabi Kelabu? Apa itu, Kang?”
“Yaa, serabi yang warnanya kelabu.”
“Serabi warnanya kelabu?”
“Benar, pokoknya warnyanya kelabu.”
“Bagaimana ceritanya, Kang?”
“Konon, jika pasangan kekasih makan Serabi Kelabu buatan salah satu pasangan, maka pasangan itu akan terpisah selamanya.”
Kau mengangkat bahu dan mengerutkan alismu.
“Besok aku akan membuat serabi kelabu untuk kita,” aku melanjutkan.
Kau terkejut.
“Kang, kau bercanda kan?”
“Aku kelihatan bercanda?”
“Ayo, Kang, katakan kau bercanda!”
Aku diam. Wajahku bertahan dalam keseriusan. Kau nampak makin takut. Tak berselang lama mulutku meledakkan tawa. Keras. Keras sekali.
“Nggak lucu!” katamu singkat.
“Alamak, si manis kena tipu!”
Wajahmu berubah seperti anak kecil yang merajuk karena tak dibelikan mainan. Aku terus menggodamu. Bibirmu masih menyungging. Tapi aku tahu, di balik wajahmu yang muram itu tersimpan kelegaan. Lega yang sebenar-benarnya.
Hampir tiga tahun cerita itu kunikmati sendiri dalam ingatanku. Daun-daun beringin itu kini merunduk sampai tanah karena tak ada yang memetik. Warung Pak Leman kehilangan satu nafas. Tak ada canda tawa di ujung meja   kau dan aku.
***
Peristiwa di rumahmu tiga tahun silam menjadi bagian yang selalu kuingat. Sejak sore kau duduk di depan cermin. Awal malam aku akan mengajakmu ke pasar malam. Berkali-kali kau menghadap cermin untuk memastikan tak ada yang kurang di tubuh dan wajahmu. Sesekali kau melihat ke luar jendela memastikan aku belum datang.
Andai rumahmu seratus meter lebih dekat, mungkin kita sudah ada di pasar malam lebih awal. Namun sayang, Pak Tarji, tempat ayahmu menggantungkan karir datang ketika jarakku kurang sepuluh meter dari rumahmu. Pak Tarji mendahuluiku. Dia membawa satu maksud, dan nampaknya serius. Aku mendengar perbincangan yang paling inti.
“Anakku Bondan minta kawin.”
Kau diam. Kau memiliki daya untuk menolak. Tapi, segala kebaikan Pak Tarji, dan rasa tanggungjawabmu terhadap pekerjaan ayahmu membuatmu diam. Aku sempat melihatmu menatapku ketika aku berlari menyeberang pintu.
Aku pergi dari rumah tanpa pertimbangan apapun. Tujuh bulan tanpa kabarmu. Kemudian kembali. Kabar yang kudengar kau dibawa anak Pak Tarji satu bulan sebelum kepulanganku.
“Baru satu bulan? Kenapa tidak enam bulan sebelumnya? Benarkah enam bulan itu kau menungguku?”
Tak pula mampu aku menjawab itu. Kini tiga tahun berlalu. Pertanyaan itu masih tanpa jawaban. Kau yang berkuasa menjawab pergi dengan Bondan anak Pak Tarji. Entah bahagia atau tidak yang aku tahu Pak Tarji itu orang kaya.
***
Sebelum sore tiba aku ingin ke ujung kampung. Melihat pohon beringin. Tentu saja mampir warung Pak Leman. Pohon itu sepi. Kedamaian kicau perenjak tak mampu kuterjemahkan. Dari jauh nampak dua titik makin mendekat. Makin dekat makin kupahami mereka. Entah siapa yang laki-laki, tapi perempuan itu yang sering mengisi kelopak mata dan khayal-khayalku.
“Duh, Gusti… Kakiku gemetar,” gumamku dalam hati.
Telapak tanganku mengelus lutut dan siku. Aku menarik napas panjang-panjang. Mereka makin dekat. Perempuan itu berhenti.
“Kang Zul?”
“Rati?” jawabku sambil berdiri.
Lelaki itu pasti Bondan. Hidungnya mancung, kulitnya putih. Namun ketampanannya tertutupi badannya yang kurus. Dia menatapku. Kemudian menatap Rati. Dan melakukan itu berulang-ulang.
“Dia Zul yang sering kau ceritakan?”
Rati mengangguk.
“Iya, saya Zul. Maaf jika saya mengganggu sampeyan berdua.”
“Lho-lho, mengapa minta maaf?”
“Tidak tahu. Saya hanya bingung.”
Bahkan kepada diri sendiri aku tak mampu menjelaskan yang kurasakan. Wanita itu kini di depan mata. Dengan segala kerinduan yang lama tersimpan, aku hanya bisa diam dan bingung menatapnya.
“Ya-ya saya tahu, saya tahu. Mari duduk kembali. Kita duduk bertiga.”
Sikap Bondan tak seperti yang selama ini aku bayangkan. Senyum tulus selalu dia tunjukkan padaku. Dia juga hafal betul kisahku dengan Rati. Kisah kami di bawah beringin, di warung Pak Leman. Dia mengulang cerita itu tanpa raut benci. Termasuk kejadian tiga tahun lalu.
Malam kepergianku, Bondan datang ke rumah Rati. Rati tak mengucapkan kata penolakan, tapi dia berterus terang tentang diriku. Bondan surut. Dia bukan perebut kekasih orang. Sampai akhirnya kabar kepergianku diketahui Bondan. Dia kembali ke rumah Rati. Rati menolak. Namun penolakan itu tak mampu bertahan setelah bulan keenam.
Sejak itu cerita tentang beringin dan warung serabi hanya berlalu dari bibir Rati ke telinga Bondan. Dan kini aku datang. Lakon yang sebenarnya ada dihadapannya. Dengan setting tempat yang sama   warung Pak Leman.
Tak ada yang berbeda dari rasa serabi Pak Leman. Hanya ada sedikit bumbu tambahan. Itu tak lain adalah rasa penyesalanku terhadap kepergianku. Betapa aku bukan lelaki dewasa yang lari begitu saja. Andai aku tidak pergi malam itu, mungkin ceritanya akan berbeda. Dan ternyata aku bukan lelaki yang gampang melupakan masa lalu.
Setidaknya sampai sore ini ketika Rati memintaku datang ke pohon beringin. Aku datang lebih awal. Rati kemudian datang. Di tangannya ada rantang. Dia menurunkan kemudian membuka isinya. Nampak beberapa serabi beserta kuah. Warnanya berbeda dengan buatan Pak Leman.
“Masih ingat serabi kelabu, Kang?”
Aku diam.
“Ini serabi kelabu, Kang. Buatanku!”
“Kamu sedang bercanda kan?”
Rati diam. Matanya berair. Aku memasang tatapan mata pengharapan. Menagih kata gurauan untuk semua ini. Rati sibuk dengan perasaannya dan serabinya.
Mungkin bagi orang macam Pak Leman, serabi kelabu adalah serabi yang terbentuk dari satu teknik khusus dalam pembuatannya. Namun bagi Rati serabi kelabu itu terbentuk dari kedalaman perasaan sedih. Sedih yang terlalu dalam.
“Getir.”
“Iya kang, getir, ini dibuat tadi pagi,” Rati mengucap kata getir dengan makna yang berbeda dariku.
“Yang satu sudah dimakan orang, Kang.”
“Siapa?” tanyaku penasaran.
“Suamiku, Bondan. Dia tahu cerita tentang serabi kelabu. Dan sebenarnya ini dia yang membuat. Untukku.”
Entah bahagia atau sedih yang kini aku rasakan. Yang dapat kubayangkan hanya wajah Bondan ketika melepaskan Rati. Dilepas untuk siapa. Entahlah. Mungkin untuk ceritanya yang lalu.
Ngaliyan, Juli 2011
Terbit juga dalam antologi cerpen Soeket Teki "Pembunuh Bulan Perawan"
Hamidun Nafi' Syifauddin
bergiat di Kampoeng Sastra Soeket Teki

4 komentar: