Cerpen Hamidun
Nafi’ Syifauddin
Satu hal yang
tak pernah aku lupakan adalah cara mengingatmu. Membawamu dari alam yang telah
lalu untuk menyusun kembali gerak tubuhmu dalam imajinasiku. Menyusun kembali
senyummu dalam kelopak mataku. Atau sekadar menjelmakan angin menjadi suaramu.
Satu hal lain
yang tak pernah berhasil aku pelajari adalah cara melupakanmu. Menghapus segala
yang telah terekam menjadi ruang hitam hampa. Atau ruang putih tanpa pangkal
ujung, sehingga siapapun yang melihat tak akan mampu mendefinisikan apapun.
Beringin di
ujung kampung itu menjadi satu bagian yang tak mampu kuhapuskan. Kicau burung
perenjak meliuk panjang menyatu dengan sapuan angin. Getarannya mengisyaratkan
kedamaian alam dengan segala romantikanya. Di dahan paling rendah itu tanganmu
bergelayutan sambil memetik beberapa daun. Daun yang secara umur belum pantas
pisah dari pohonnya. Dan ketika angin datang, telapak tanganmu menengadah.
Sekejap daun yang kau remas hambur bersama angin.
Di depanmu di sebuah kursi, aku meneduhkan tubuh dari
matahari sore. Batang pohon yang besar cukup untuk melindungi lima orang di
sebelahku. Sesekali kau duduk. Nampaknya telah habis bahan perbincangan kita.
Perbincangan yang tersisa hanya keluhan-keluhan kecil tentang warung serabi Pak
Leman.
“Sudah sore
begini belum juga buka ya, Kang?”
“Kita tunggu
sambil berjalan ke sana saja.”
Aku berdiri dan
menggandeng tanganmu. Dari pertigaan, nampak sesosok tua berpeci putih menarik
pintu warung. Dari dalam warung, uap santan bercampur gula jawa mengepul ke
udara. Beberapa pelanggan yang sudah berdiri di depan memperlebar lubang hidung
kemudian menarik napas dalam-dalam.
“Oh, mari duduk.
Silakan, silakan.” Pak Leman menyambut pelanggan sambil menarik kursi dari
bawah meja.
“Silakan, Mas.
Silakan, Mbak,” Pak Leman menyambut pelanggan yang baru datang.
Kau mencari meja
paling ujung. Aku di sebelahmu. Matahari yang semakin ke barat meninggalkan
bayangan pohon beringin di meja-meja itu. Burung yang berpindah-pindah dahan
membentuk kelebatan hitam di meja.
Tak berselang
lama, dua porsi serabi menghampiri meja. Warnanya putih pucat. Di permukaannya
ada rona kuning kehitaman, perpaduan tepung beras dan santan yang terbakar.
Kuahnya manis. Tapi tak pula terlalu manis. Sedap.
“Kau pernah
mendengar dongeng Serabi Kelabu?”
“Serabi Kelabu?
Apa itu, Kang?”
“Yaa, serabi
yang warnanya kelabu.”
“Serabi warnanya
kelabu?”
“Benar, pokoknya
warnyanya kelabu.”
“Bagaimana
ceritanya, Kang?”
“Konon, jika
pasangan kekasih makan Serabi Kelabu buatan salah satu pasangan, maka pasangan
itu akan terpisah selamanya.”
Kau mengangkat
bahu dan mengerutkan alismu.
“Besok aku akan
membuat serabi kelabu untuk kita,” aku melanjutkan.
Kau terkejut.
“Kang, kau
bercanda kan?”
“Aku kelihatan
bercanda?”
“Ayo, Kang,
katakan kau bercanda!”
Aku diam.
Wajahku bertahan dalam keseriusan. Kau nampak makin takut. Tak berselang lama
mulutku meledakkan tawa. Keras. Keras sekali.
“Nggak lucu!”
katamu singkat.
“Alamak, si manis
kena tipu!”
Wajahmu berubah
seperti anak kecil yang merajuk karena tak dibelikan mainan. Aku terus
menggodamu. Bibirmu masih menyungging. Tapi aku tahu, di balik wajahmu yang
muram itu tersimpan kelegaan. Lega yang sebenar-benarnya.
Hampir tiga
tahun cerita itu kunikmati sendiri dalam ingatanku. Daun-daun beringin itu kini
merunduk sampai tanah karena tak ada yang memetik. Warung Pak Leman kehilangan
satu nafas. Tak ada canda tawa di ujung meja
kau dan aku.
***
Peristiwa di
rumahmu tiga tahun silam menjadi bagian yang selalu kuingat. Sejak sore kau
duduk di depan cermin. Awal malam aku akan mengajakmu ke pasar malam.
Berkali-kali kau menghadap cermin untuk memastikan tak ada yang kurang di tubuh
dan wajahmu. Sesekali kau melihat ke luar jendela memastikan aku belum datang.
Andai rumahmu
seratus meter lebih dekat, mungkin kita sudah ada di pasar malam lebih awal.
Namun sayang, Pak Tarji, tempat ayahmu menggantungkan karir datang ketika
jarakku kurang sepuluh meter dari rumahmu. Pak Tarji mendahuluiku. Dia membawa
satu maksud, dan nampaknya serius. Aku mendengar perbincangan yang paling inti.
“Anakku Bondan
minta kawin.”
Kau diam. Kau
memiliki daya untuk menolak. Tapi, segala kebaikan Pak Tarji, dan rasa
tanggungjawabmu terhadap pekerjaan ayahmu membuatmu diam. Aku sempat melihatmu
menatapku ketika aku berlari menyeberang pintu.
Aku pergi dari
rumah tanpa pertimbangan apapun. Tujuh bulan tanpa kabarmu. Kemudian kembali.
Kabar yang kudengar kau dibawa anak Pak Tarji satu bulan sebelum kepulanganku.
“Baru satu
bulan? Kenapa tidak enam bulan sebelumnya? Benarkah enam bulan itu kau
menungguku?”
Tak pula mampu
aku menjawab itu. Kini tiga tahun berlalu. Pertanyaan itu masih tanpa jawaban.
Kau yang berkuasa menjawab pergi dengan Bondan anak Pak Tarji. Entah bahagia
atau tidak yang aku tahu Pak Tarji itu orang kaya.
***
Sebelum sore
tiba aku ingin ke ujung kampung. Melihat pohon beringin. Tentu saja mampir
warung Pak Leman. Pohon itu sepi. Kedamaian kicau perenjak tak mampu
kuterjemahkan. Dari jauh nampak dua titik makin mendekat. Makin dekat makin
kupahami mereka. Entah siapa yang laki-laki, tapi perempuan itu yang sering
mengisi kelopak mata dan khayal-khayalku.
“Duh, Gusti…
Kakiku gemetar,” gumamku dalam hati.
Telapak tanganku
mengelus lutut dan siku. Aku menarik napas panjang-panjang. Mereka makin dekat.
Perempuan itu berhenti.
“Kang Zul?”
“Rati?” jawabku
sambil berdiri.
Lelaki itu pasti
Bondan. Hidungnya mancung, kulitnya putih. Namun ketampanannya tertutupi
badannya yang kurus. Dia menatapku. Kemudian menatap Rati. Dan melakukan itu
berulang-ulang.
“Dia Zul yang
sering kau ceritakan?”
Rati mengangguk.
“Iya, saya Zul.
Maaf jika saya mengganggu sampeyan berdua.”
“Lho-lho,
mengapa minta maaf?”
“Tidak tahu.
Saya hanya bingung.”
Bahkan kepada
diri sendiri aku tak mampu menjelaskan yang kurasakan. Wanita itu kini di depan
mata. Dengan segala kerinduan yang lama tersimpan, aku hanya bisa diam dan
bingung menatapnya.
“Ya-ya saya
tahu, saya tahu. Mari duduk kembali. Kita duduk bertiga.”
Sikap Bondan tak
seperti yang selama ini aku bayangkan. Senyum tulus selalu dia tunjukkan
padaku. Dia juga hafal betul kisahku dengan Rati. Kisah kami di bawah beringin,
di warung Pak Leman. Dia mengulang cerita itu tanpa raut benci. Termasuk
kejadian tiga tahun lalu.
Malam
kepergianku, Bondan datang ke rumah Rati. Rati tak mengucapkan kata penolakan,
tapi dia berterus terang tentang diriku. Bondan surut. Dia bukan perebut
kekasih orang. Sampai akhirnya kabar kepergianku diketahui Bondan. Dia kembali
ke rumah Rati. Rati menolak. Namun penolakan itu tak mampu bertahan setelah
bulan keenam.
Sejak itu cerita
tentang beringin dan warung serabi hanya berlalu dari bibir Rati ke telinga
Bondan. Dan kini aku datang. Lakon yang sebenarnya ada dihadapannya. Dengan
setting tempat yang sama warung Pak
Leman.
Tak ada yang
berbeda dari rasa serabi Pak Leman. Hanya ada sedikit bumbu tambahan. Itu tak
lain adalah rasa penyesalanku terhadap kepergianku. Betapa aku bukan lelaki
dewasa yang lari begitu saja. Andai aku tidak pergi malam itu, mungkin
ceritanya akan berbeda. Dan ternyata aku bukan lelaki yang gampang melupakan
masa lalu.
Setidaknya
sampai sore ini ketika Rati memintaku datang ke pohon beringin. Aku datang
lebih awal. Rati kemudian datang. Di tangannya ada rantang. Dia menurunkan
kemudian membuka isinya. Nampak beberapa serabi beserta kuah. Warnanya berbeda
dengan buatan Pak Leman.
“Masih ingat
serabi kelabu, Kang?”
Aku diam.
“Ini serabi
kelabu, Kang. Buatanku!”
“Kamu sedang
bercanda kan?”
Rati diam.
Matanya berair. Aku memasang tatapan mata pengharapan. Menagih kata gurauan
untuk semua ini. Rati sibuk dengan perasaannya dan serabinya.
Mungkin bagi
orang macam Pak Leman, serabi kelabu adalah serabi yang terbentuk dari satu
teknik khusus dalam pembuatannya. Namun bagi Rati serabi kelabu itu terbentuk
dari kedalaman perasaan sedih. Sedih yang terlalu dalam.
“Getir.”
“Iya kang,
getir, ini dibuat tadi pagi,” Rati mengucap kata getir dengan makna yang
berbeda dariku.
“Yang satu sudah
dimakan orang, Kang.”
“Siapa?” tanyaku
penasaran.
“Suamiku,
Bondan. Dia tahu cerita tentang serabi kelabu. Dan sebenarnya ini dia yang
membuat. Untukku.”
Entah bahagia
atau sedih yang kini aku rasakan. Yang dapat kubayangkan hanya wajah Bondan
ketika melepaskan Rati. Dilepas untuk siapa. Entahlah. Mungkin untuk ceritanya
yang lalu.
Ngaliyan, Juli 2011
Terbit juga dalam antologi cerpen Soeket Teki
"Pembunuh Bulan Perawan"
Hamidun Nafi' Syifauddin
bergiat di Kampoeng Sastra Soeket Teki
Hamidun Nafi' Syifauddin
bergiat di Kampoeng Sastra Soeket Teki
indah,,, q suka..
BalasHapusterimakasih sudah mampir
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPak hamiduunn ☺ terkesima aku akan kisah yg kau tulis 😊
BalasHapus