Cerpen Hamidun Nafi’ Syifauddin
seperlabuhan
Matahari kau diam
barangkali pikirmu
adalah kapas diterpa badai
jangan mimpimu
terlalu khayal
sebab tak tentu
darat untukmu berlabuh
jangan kau lukis
terlalu indah itu yang dalam angan
seperlabuhan Bulan
kau cepatlah terpejam
Melantunkan sajak itu,
yang kembali terlintas adalah mata indah dari balik jendela malam itu. Rambutnya terurai
di bahu. Duduk di sampingnya adalah seorang lelaki penuh renjana. Lelaki
itu berdiri untuk menutup
jendela. Hanya sesaat, jendela itu
kembali terbuka. Siapa lagi yang membuka kalau bukan gadis itu.
Aku duduk di bawah Trembesi seberang jalan. Jaraknya hanya beberapa langkah dari
jendela itu. Dari bawah Trembesi ini bisa kugambarkan
dengan jelas bagaimana raut muka lelaki itu; raut muka yang menyimpan renjana yang kian memuncak. Dia berdiri. Menatap gadis lembut itu dengan tatap mata kasar.
Tangannya mengayuh jendela. Jendela kembali tertutup. Tak ada apa-apa selain gelap.
Benang merah dalam hidupnya telah dimulai. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain membiarkan
mata tertutup dengan sedirinya. Kemudian mimpi-mimpi buruk datang silih
berganti.
***
Angin berhembus menggetarkan ranting-ranting Trembesi. Daun yang
sudah lewat usia segera undur diri. Melayang sejenak kemudian terlena di tanah.
Rombongan daun lain segera menyusul setelah angin kembali menggetarkan ranting tempat
mereka bersandar.
Dengan angin itu, sehelai daun menyeberangi jalan. Melayang. Berlenggak-lenggok mendekati
jendela sebuah kamar. Tepat di pipi gadis yang masih
lelap, daun itu mendaratkan tubuh. Gadis itu terbangun.
“Malang sekali nasibmu. Warnamu masih hijau tapi sudah gugur sepagi ini.”
Gadis itu beranjak dari jendela. Diletakkannya daun itu di tempat
khusus di atas meja. Matanya menatap tajam cermin besar di atas meja.
Lama dia melakukan itu. Yang nampak di matanya adalah wajah penuh kebencian.
“Ya ampun, mau sampai kapan
kamu mengagumi wajahmu seperti itu?”
Gadis itu menatap bayangan di cermin. Wanita
paruh baya berdiri di balik pintu. Gadis itu paham, induk semangnya memberi
aba-aba agar segera mandi dan sarapan.
“Dia datang jam Sembilan,” katanya, sambil mengalungkan handuk di bahu
gadis itu.
Gadis itu beranjak ke kamar mandi.
“Oh iya, jangan lupa, jam satu dan jam delapan malam. Mereka pelanggan baru,
kamu harus maksimal.”
Gadis itu berlalu. Matanya hanya melirik daun hijau tadi.
“Tuh, kan, kini kamu tahu. Beginilah nasib kakakmu. Bukankah kamu
beruntung bisa gugur lebih awal?” katanya dalam hati untuk daun itu.
***
Rambut setengah basah terurai. Kulit lembut itu bagai bersinar setelah
basah menghilang dari kulitnya. Bibir yang semula merah, kini makin merona.
Gadis itu duduk di depan cermin. Dicarinya kembali senyum yang lama hilang—tersenyum untuk
dirinya sendiri.
“Dia sudah di bawah,” bisik induk semangnya, berdiri di balik pintu.
“Tapi kamu sarapan dulu,” katanya. Kepulan asap rokok keluar dari sela
bibir penuh gincu itu.
“Senyum dong, ntar dia kabur lho,” mulutnya kembali mengepulkan asap.
Gadis itu melengkungkan bibir. Tetap terlihat
manis meski senyum buatan.
“Nah, gitu bisa.”
Gadis itu menuruni tangga. Nampak di ruang depan
lelaki muda penuh renjana. Sorot matanya adalah berahi. Desah nafasnya adalah
nafsu yang meluap. Sedikitpun gadis itu tak menghiraukan.
“Ssst.. st, st,” induk semangnya mendesis. Bahunya
menyenggol-nyenggol gadis itu; pertanda bahwa dia harus tersenyum.
Gadis itu mengerlingkan mata. Melihat sejenak ke
luar rumah kemudian menatap lelaki itu. Bibirnya tersenyum. Lelaki itu
membalasnya dengan tatapan berahi.
Hari-hari dengan narasi yang sama kembali menyapa
gadis itu. Dan yang dikisahkan hanyalah soal tubuh. Indah bentuk tubuhnya
hanyalah celah bagi air mata untuk menemu jalan, menetes membasahi seluruh hidupnya. Gadis itu memejamkan mata. Tak dirasakannya lagi hidup.
Matanya hanya
bisa terpejam. Ketika membuka
mata, yang dilihatnya hanya lelaki-lelaki penuh renjana berahi.
***
Aku berdiri
di bawah Trembesi. Dari jendela yang transparan terlihat tangan gadis itu menyapukan kuas pada lekuk matanya.
Kemudian meratakan gincu di bibir.
Menuruni tangga, mata gadis itu
terus menatap pemuda di ruang
depan. Ditatapnya wajah pemuda itu dalam-dalam. Sampai anak tangga terakhir,
matanya masih menatap pemuda itu.
“Kamu yang sering duduk di bawah Trembesi itu kan?”
katanya penasaran.
Aku diam. Aku menatap matanya sebentar. Benar
sekali. Itu adalah mata bidadari. Dia memalingkan pandangan.
“Hmhh, semua lelaki sama saja,” desahnya pelan. Di
wajahnya tergurat kecewa. Barangkali dia mengira aku berbeda dari lelaki-lelaki yang
pernah datang padanya.
“Oh, tenang mas, tenang, begitulah memang sikapnya.
Tenang, tenang, silakan kamarnya di atas,” mata induk semangnya menatap gadis
itu kemudian melempar pandangan ke atas cepat. Dia melakukan itu beberapa kali.
“Ingat pesanku baik-baik!” perempuan itu memperingatkan.
Gadis itu berjalan di depanku. Menuju sebuah kamar,
melalui lorong temaram. Tangan lembutnya memegang pembuka pintu. “Silakan masuk
duluan,” dia tetap mempertahankan senyum palsunya yang indah.
Aku masuk ke dalam kamarnya yang wangi. Pemandangannya
berbeda dengan pemandangan dari luar jendela. Gadis itu menutup pintu.
“Jadi ini kamar yang selama ini hanya aku lihat dari
jendela.”
“Langsung saja mas, aku tahu yang kamu inginkan,”
gadis itu merebahkan tubuh.
Aku menatap mata bidadarinya. Dia tak melihatku.
Pandangannya tertuju pada kotak kecil. Ada daun hijau hampir kering di sana.
Aku kembali menatap gadis itu. Kini dia menatapku.
“Jika kau lelah, istirahatlah,” kataku.
Gadis itu serta merta duduk.
“Maksudmu?”
“Tidurlah jika kau lelah.”
“Bukan itu maksudku, kamu datang kesini hanya untuk
menyuruhku tidur?”
“Yang jelas aku kesini tidak untuk tidur denganmu.”
“Maksudnya tidak meniduriku?”
Aku mengangguk.
“Lalu buat apa kamu membayar mahal?”
Aku merasa tak ada jawaban yang tepat. Aku diam.
“Tidak masuk akal. Baiklah kalau begitu, sekarang kamu
pulang saja, uangmu akan aku kembalikan.”
“Tidak, tidak. Aku kesini untuk membicarakan hal lain selain tubuhmu.”
“Maksudmu?”
“Maksudku, kita melewati malam ini tanpa berahi.”
“Aneh, sudah, pulanglah, uangmu akan aku
kembalikan.”
“Baiklah, baiklah, sekarang kau tahu aku sudah membayarmu. Itu berarti kamu
harus menuruti permintaanku!”
Gadis itu diam. Dia merasa kata-kataku ada
benarnya. Aku juga diam. Antara aku dan dia seperti baru saja terlibat dalam
pertengkaran. Kamar itu menjadi hening.
***
“Dari balik jendela itu, aku melihatmu sibuk
mengurus nafsu para lelaki.Dan sekarang, dari dalam kamar ini, aku ingin
melihatmu istirahat.”
“Jujur aku belum mengerti maksudmu mas.”
“Makanya kau jangan mempersulit. Bukankah sebenarnya
kita saling mengenal? Kau mengenalku sebagai pria di seberang jalan. Aku
mengenalmu sebagai gadis di balik jendela.”
Gadis itu mengangguk.
“Lalu, maaf, sebelumnya
apakah terlalu tidak
sopan jika aku bertanya siapa namamu?”
“Panggillah dengan sebutan apa saja, sesuka hatimu mas.”
“Baiklah, aku akan memanggilmu terserah. Ah nanti saja. Apa kau suka sajak?”
“Maksudnya puisi?”
“Iya.”
“Aku jarang membaca puisi. Setiap hari yang aku
lakukan hanya...”
“Iya, jangan teruskan, aku sudah tahu.”
“Terus, buat apa
pertanyaan tadi?”
“Aku punya sebait
puisi.”
“Baiklah, aku akan mendengarnya,” bibirnya
tersenyum. Yang ini bukan senyum buatan. Rasanya ada angin berhembus menerpa
wajahku.
sajak malam
:untuk mata
bidadari
kepadamu gelap, tempat segala duka bersandar. kau derita tak
mengenal ujung. kau sembunyikan nestapa di balik renjana. kau yang waktu itu
mengutus angin, untuk menyampaikan kabar kepada daun-daun, bahwa yang menetes
itu adalah air mata. Kemudian di pagi hari daun itu
berguguran. dalam gelapmu aku berbisik. inilah duka. mengering sudah air mata
yang kau minta.
“He he he he he
he he.”
“Kenapa tertawa?”
“He he, aku tidak tahu maksud puisimu mas.”
“Ha ha ha ha ha,” aku tertawa keras.
Dia tersenyum. Perbincangan malam itu berlanjut
dengan gurau senda. Aku menemukan senyum-senyum yang indah. Dalam satu dan lain
kisah terkadang gadis itu meneteskan air mata.
***
Matahari cepat sekali
terbit. Gadis
itu masih ingin terus bersenda gurau. Dari balik pintu, induk semangnya
mendeham. Waktu telah habis.
“Aku berharap kamu sering ke sini mas.”
“Aku juga berharap kau bisa beristirahat seiring kedatanganku.”
Aku mendekati pintu. Gadis itu menatapku.
Dirangkainya senyum menawan di bibirnya. Itu adalah senyum paling indah. Tatapan
mata itu adalah tatapan mata bidadari.
***
Aku selalu mengingat puisi itu. Puisi yang
dibacakan seorang lelaki. Lelaki yang setiap menjelang malam duduk di bawah Trembesi
seberang jalan. Kini dua tahun berlalu. Namun tak
sekelebat pun bayang tubuhnya berdiri lagi di sana. Hanya puisi ini yang ditinggalkan di malam itu.
Yang masih aku ingat adalah dia berjanji akan datang lagi. Barangkali
dia lupa? atau barangkali dia tak mengerti bahwa satu rasa yang tak bisa ku jelaskan dengan kata-kata telah tumbuh dalam hati. Dia belum kembali.
Aku tak pernah menutup jendela. Kau tentu tahu
alasannya teman. Aku ingin terus menatap Trembesi di seberang
jalan itu, berharap dia tiba-tiba berdiri di sana. Tapi tak pula hal itu
terjadi.
Lelaki yang datang selalu saja lelaki-lelaki busuk.
Tak kutemui lagi lelaki macam dia.
Kusempatkan berjalan ke luar. Duduk di bawah Trembesi. Mengenang dia yang dulu pernah
duduk di sini. Sambil mencari sisa-sisa yang lebih
mirip bayang di balik kabut. Mataku menatap tajam setiap orang yang lewat,
berharap menemukan wajah yang selama ini kucari.
Sekali lagi, kupusatkan perhatianku ke segala penjuru. Menangkap raut
para lelaki yang tak bisa kupaksakan memiliki hakikat yang sama. Begitulah yang
kutahu. Ada lelaki yang dalam dirinya hanya nafsu semata. Sementara lelaki yang
ku tunggu ini, sempat kulihat hati bersemayam dalam dirinya.
Hal yang paling benar dari semua ini hanya penantian yang tak pasti.
Sebab, kenyataan yang kudapati adalah dia tak pernah datang untuk ke dua kali.
Untuk itulah kuyakinkan diriku sekali lagi, untuk menganggap berbagai macam
harapan itu hanya sebagai mimpi. Lalu kuucapkan selamat tinggal kepada
bayang-bayang yang sempat menumbuhkan harapan dalam diriku. Selamat tinggal
untuk selamanya.
***
Jika dirimu masih mata bidadari, dan jika kau masih mengingatku. Betapa
banyak hal yang ingin kuceritakan. Segala hal yang kau ceritakan malam itu
menumbuhkan semangat bagi diriku untuk berbuat sesuatu atas nama kemanusiaan.
Bagaimana dirimu dulu dijual. Oleh seorang ayah yang seumur hidupmu kau
akan mengutuknya. Dikurung, dan diperlakukan layaknya hewan kesayangan. Tapi
bagaimanapun sayang yang dimaksud, tetap saja layaknya hewan, bukan manusia.
Janji yang tak sempat kuucapkan
kepadamu adalah, suatu saat aku akan datang untuk satu hal yang belum kau
ketahui. Kau dulu dijual ke perempuan itu. Jika tiba saatnya, akan kuganti uang
itu dan kau bukan lagi hewan kesayangan.
Terserah apa yang akan kau lakukan. Barangkali kau harus belajar hidup
layaknya perempuan. Tak ada salahnya hal itu mulai kau pikirkan.
soeket teki
Semarang-Magelang-Semarang,
November 2011-Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar