-->

Sabtu, 24 Agustus 2013

Sajak Malam Untuk Mata Bidadari


Cerpen Hamidun Nafi’ Syifauddin

seperlabuhan Matahari kau diam
barangkali pikirmu adalah kapas diterpa badai
jangan mimpimu terlalu khayal
sebab tak tentu darat untukmu berlabuh
jangan kau lukis terlalu indah itu yang dalam angan
seperlabuhan Bulan kau cepatlah terpejam

Melantunkan sajak itu, yang kembali terlintas adalah mata indah dari balik jendela malam itu. Rambutnya terurai di bahu. Duduk di sampingnya adalah seorang lelaki penuh renjana. Lelaki itu berdiri untuk menutup jendela. Hanya sesaat, jendela itu kembali terbuka. Siapa lagi yang membuka kalau bukan gadis itu.
Aku duduk di bawah Trembesi seberang jalan. Jaraknya hanya beberapa langkah dari jendela itu. Dari bawah Trembesi ini bisa kugambarkan dengan jelas bagaimana raut muka lelaki itu; raut muka yang menyimpan renjana yang kian memuncak. Dia berdiri. Menatap gadis lembut itu dengan tatap mata kasar. Tangannya mengayuh jendela. Jendela kembali tertutup. Tak  ada apa-apa selain gelap.
Benang merah dalam hidupnya telah dimulai. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain membiarkan mata tertutup dengan sedirinya. Kemudian mimpi-mimpi buruk datang silih berganti.
***
Angin berhembus menggetarkan ranting-ranting Trembesi. Daun yang sudah lewat usia segera undur diri. Melayang sejenak kemudian terlena di tanah. Rombongan daun lain segera menyusul setelah angin kembali menggetarkan ranting tempat mereka bersandar.
Dengan angin itu, sehelai daun menyeberangi jalan. Melayang. Berlenggak-lenggok mendekati jendela sebuah kamar. Tepat di pipi gadis yang masih lelap, daun itu mendaratkan tubuh. Gadis itu terbangun.
Malang sekali nasibmu. Warnamu masih hijau tapi sudah gugur sepagi ini.”
Gadis itu beranjak dari jendela. Diletakkannya daun itu di tempat khusus di atas meja. Matanya menatap tajam cermin besar di atas meja. Lama dia melakukan itu. Yang nampak di matanya adalah wajah penuh kebencian.
Ya ampun, mau sampai kapan kamu mengagumi wajahmu seperti itu?”
Gadis itu menatap bayangan di cermin. Wanita paruh baya berdiri di balik pintu. Gadis itu paham, induk semangnya memberi aba-aba agar segera mandi dan sarapan.
“Dia datang jam Sembilan,” katanya, sambil mengalungkan handuk di bahu gadis itu.
Gadis itu beranjak ke kamar mandi.
“Oh iya, jangan lupa, jam satu dan jam delapan malam. Mereka pelanggan baru, kamu harus maksimal.”
Gadis itu berlalu. Matanya hanya melirik daun hijau tadi.
“Tuh, kan, kini kamu tahu. Beginilah nasib kakakmu. Bukankah kamu beruntung bisa gugur lebih awal?” katanya dalam hati untuk daun itu.
***
Rambut setengah basah terurai. Kulit lembut itu bagai bersinar setelah basah menghilang dari kulitnya. Bibir yang semula merah, kini makin merona. Gadis itu duduk di depan cermin. Dicarinya kembali senyum yang lama hilang—tersenyum untuk dirinya sendiri.
“Dia sudah di bawah,” bisik induk semangnya, berdiri di balik pintu.
“Tapi kamu sarapan dulu,” katanya. Kepulan asap rokok keluar dari sela bibir penuh gincu itu.
“Senyum dong, ntar dia kabur lho,” mulutnya kembali mengepulkan asap.
Gadis itu melengkungkan bibir. Tetap terlihat manis meski senyum buatan.
“Nah, gitu bisa.”
Gadis itu menuruni tangga. Nampak di ruang depan lelaki muda penuh renjana. Sorot matanya adalah berahi. Desah nafasnya adalah nafsu yang meluap. Sedikitpun gadis itu tak menghiraukan.
“Ssst.. st, st,” induk semangnya mendesis. Bahunya menyenggol-nyenggol gadis itu; pertanda bahwa dia harus tersenyum.
Gadis itu mengerlingkan mata. Melihat sejenak ke luar rumah kemudian menatap lelaki itu. Bibirnya tersenyum. Lelaki itu membalasnya dengan tatapan berahi.
Hari-hari dengan narasi yang sama kembali menyapa gadis itu. Dan yang dikisahkan hanyalah soal tubuh. Indah bentuk tubuhnya hanyalah celah bagi air mata untuk menemu jalan, menetes membasahi seluruh hidupnya. Gadis itu memejamkan mata. Tak dirasakannya lagi hidup.
Matanya hanya bisa terpejam. Ketika membuka mata, yang dilihatnya hanya lelaki-lelaki penuh renjana berahi.
***
 Aku berdiri di bawah Trembesi. Dari jendela yang transparan terlihat tangan  gadis itu menyapukan kuas pada lekuk matanya. Kemudian meratakan gincu di bibir.
Menuruni tangga, mata gadis itu terus menatap pemuda di ruang depan. Ditatapnya wajah pemuda itu dalam-dalam. Sampai anak tangga terakhir, matanya masih menatap pemuda itu.
“Kamu yang sering duduk di bawah Trembesi itu kan?” katanya penasaran.
Aku diam. Aku menatap matanya sebentar. Benar sekali. Itu adalah mata bidadari. Dia memalingkan pandangan.
“Hmhh, semua lelaki sama saja,” desahnya pelan. Di wajahnya tergurat kecewa. Barangkali dia mengira aku berbeda dari lelaki-lelaki yang pernah datang padanya.
“Oh, tenang mas, tenang, begitulah memang sikapnya. Tenang, tenang, silakan kamarnya di atas,” mata induk semangnya menatap gadis itu kemudian melempar pandangan ke atas cepat. Dia melakukan itu beberapa kali. “Ingat pesanku baik-baik!” perempuan itu memperingatkan.
Gadis itu berjalan di depanku. Menuju sebuah kamar, melalui lorong temaram. Tangan lembutnya memegang pembuka pintu. “Silakan masuk duluan,” dia tetap mempertahankan senyum palsunya yang indah.
Aku masuk ke dalam kamarnya yang wangi. Pemandangannya berbeda dengan pemandangan dari luar jendela. Gadis itu menutup pintu.
“Jadi ini kamar yang selama ini hanya aku lihat dari jendela.”
“Langsung saja mas, aku tahu yang kamu inginkan,” gadis itu merebahkan tubuh.
Aku menatap mata bidadarinya. Dia tak melihatku. Pandangannya tertuju pada kotak kecil. Ada daun hijau hampir kering di sana. Aku kembali menatap gadis itu. Kini dia menatapku.
“Jika kau lelah, istirahatlah,” kataku.
Gadis itu serta merta duduk.
“Maksudmu?”
“Tidurlah jika kau lelah.”
“Bukan itu maksudku, kamu datang kesini hanya untuk menyuruhku tidur?”
“Yang jelas aku kesini tidak untuk tidur denganmu.”
“Maksudnya tidak meniduriku?”
Aku mengangguk.
“Lalu buat apa kamu membayar mahal?”
Aku merasa tak ada jawaban yang tepat. Aku diam.
“Tidak masuk akal. Baiklah kalau begitu, sekarang kamu pulang saja, uangmu akan aku kembalikan.”
“Tidak, tidak. Aku kesini untuk membicarakan hal lain selain tubuhmu.”
“Maksudmu?”
“Maksudku, kita melewati malam ini tanpa berahi.”
“Aneh, sudah, pulanglah, uangmu akan aku kembalikan.”
Baiklah, baiklah, sekarang kau tahu aku sudah membayarmu. Itu berarti kamu harus menuruti permintaanku!”
Gadis itu diam. Dia merasa kata-kataku ada benarnya. Aku juga diam. Antara aku dan dia seperti baru saja terlibat dalam pertengkaran. Kamar itu menjadi hening.
***
“Dari balik jendela itu, aku melihatmu sibuk mengurus nafsu para lelaki.Dan sekarang, dari dalam kamar ini, aku ingin melihatmu istirahat.”
“Jujur aku belum mengerti maksudmu mas.”
“Makanya kau jangan mempersulit. Bukankah sebenarnya kita saling mengenal? Kau mengenalku sebagai pria di seberang jalan. Aku mengenalmu sebagai gadis di balik jendela.”
Gadis itu mengangguk.
“Lalu, maaf, sebelumnya apakah terlalu tidak sopan jika aku bertanya siapa namamu?”
“Panggillah dengan sebutan apa saja, sesuka hatimu mas.”
“Baiklah, aku akan memanggilmu terserah. Ah nanti saja. Apa kau suka sajak?”
“Maksudnya puisi?”
“Iya.”
“Aku jarang membaca puisi. Setiap hari yang aku lakukan hanya...”
“Iya, jangan teruskan, aku sudah tahu.
Terus, buat apa pertanyaan tadi?”
Aku punya sebait puisi.”
“Baiklah, aku akan mendengarnya,” bibirnya tersenyum. Yang ini bukan senyum buatan. Rasanya ada angin berhembus menerpa wajahku.

sajak malam
:untuk mata bidadari
kepadamu gelap, tempat segala duka bersandar. kau derita tak mengenal ujung. kau sembunyikan nestapa di balik renjana. kau yang waktu itu mengutus angin, untuk menyampaikan kabar kepada daun-daun, bahwa yang menetes itu adalah air mata. Kemudian di pagi hari  daun itu berguguran. dalam gelapmu aku berbisik. inilah duka. mengering sudah air mata yang kau minta.

“He he he he he he he.”
“Kenapa tertawa?”
“He he, aku tidak tahu maksud puisimu mas.”
“Ha ha ha ha ha,” aku tertawa keras.
Dia tersenyum. Perbincangan malam itu berlanjut dengan gurau senda. Aku menemukan senyum-senyum yang indah. Dalam satu dan lain kisah terkadang gadis itu meneteskan air mata.
***
Matahari cepat sekali terbit. Gadis itu masih ingin terus bersenda gurau. Dari balik pintu, induk semangnya mendeham. Waktu telah habis.
“Aku berharap kamu sering ke sini mas.”
“Aku juga berharap kau bisa beristirahat seiring kedatanganku.”
Aku mendekati pintu. Gadis itu menatapku. Dirangkainya senyum menawan di bibirnya. Itu adalah senyum paling indah. Tatapan mata itu adalah tatapan mata bidadari.
***
Aku selalu mengingat puisi itu. Puisi yang dibacakan seorang lelaki. Lelaki yang setiap menjelang malam duduk di bawah Trembesi seberang jalan. Kini dua tahun berlalu. Namun tak sekelebat pun bayang tubuhnya berdiri lagi di sana. Hanya puisi ini yang ditinggalkan di malam itu.
Yang masih aku ingat adalah dia berjanji akan datang lagi. Barangkali dia lupa? atau barangkali dia tak mengerti bahwa satu rasa yang tak bisa ku jelaskan dengan kata-kata telah tumbuh dalam hati. Dia belum kembali.
Aku tak pernah menutup jendela. Kau tentu tahu alasannya teman. Aku ingin terus menatap Trembesi di seberang jalan itu, berharap dia tiba-tiba berdiri di sana. Tapi tak pula hal itu terjadi.
Lelaki yang datang selalu saja lelaki-lelaki busuk. Tak kutemui lagi lelaki macam dia.
Kusempatkan berjalan ke luar. Duduk di bawah Trembesi. Mengenang dia yang dulu pernah duduk di sini. Sambil mencari sisa-sisa yang lebih mirip bayang di balik kabut. Mataku menatap tajam setiap orang yang lewat, berharap menemukan wajah yang selama ini kucari.
Sekali lagi, kupusatkan perhatianku ke segala penjuru. Menangkap raut para lelaki yang tak bisa kupaksakan memiliki hakikat yang sama. Begitulah yang kutahu. Ada lelaki yang dalam dirinya hanya nafsu semata. Sementara lelaki yang ku tunggu ini, sempat kulihat hati bersemayam dalam dirinya.
Hal yang paling benar dari semua ini hanya penantian yang tak pasti. Sebab, kenyataan yang kudapati adalah dia tak pernah datang untuk ke dua kali. Untuk itulah kuyakinkan diriku sekali lagi, untuk menganggap berbagai macam harapan itu hanya sebagai mimpi. Lalu kuucapkan selamat tinggal kepada bayang-bayang yang sempat menumbuhkan harapan dalam diriku. Selamat tinggal untuk selamanya.
***
Jika dirimu masih mata bidadari, dan jika kau masih mengingatku. Betapa banyak hal yang ingin kuceritakan. Segala hal yang kau ceritakan malam itu menumbuhkan semangat bagi diriku untuk berbuat sesuatu atas nama kemanusiaan.
Bagaimana dirimu dulu dijual. Oleh seorang ayah yang seumur hidupmu kau akan mengutuknya. Dikurung, dan diperlakukan layaknya hewan kesayangan. Tapi bagaimanapun sayang yang dimaksud, tetap saja layaknya hewan, bukan manusia.
Janji yang tak sempat kuucapkan kepadamu adalah, suatu saat aku akan datang untuk satu hal yang belum kau ketahui. Kau dulu dijual ke perempuan itu. Jika tiba saatnya, akan kuganti uang itu dan kau bukan lagi hewan kesayangan.
Terserah apa yang akan kau lakukan. Barangkali kau harus belajar hidup layaknya perempuan. Tak ada salahnya hal itu mulai kau pikirkan.


soeket teki
Semarang-Magelang-Semarang,
November 2011-Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar